Minggu, 13 Mei 2012

Faktor Penyebab Perang Dunia II


Para pemimpin negara blok aliansi Perang Dunia II: Winston Churchil, F.D. Roosevelt dan Joseph Stallin [Inggris, Amerika dan Uni Soviet]

Sindrom “narsis” nampaknya menjadi salah satu faktor dominan yang memicu terjadinya Perang Dunia II tahun 1939-1945. Bagaimana tidak, hanya karena tiga negara yang “narsis” akan bangsanya yang mereka anggap paling unggul dibanding bangsa-bangsa lainnya di dunia, membuat mereka menginvasi, merebut dan mengokupasi wilayah negara lain terdekatnya. Semangat nasionalisme berlebihan itu dipupuk rasa dendam dan amarah yang masih mereka simpan akan kekalahan mereka saat Perang Dunia I, dua puluh tahun sebelumnya. Jerman, Jepang dan Italia muncul sebagai negara yang merasa bahwa hanya bangsa mereka lah yang dianggap paling terhormat dan
Namun sesungguhnya, apa penyebab Perang Dunia II itu terjadi dan berjalan dengan dahsyatnya? Pertanyaan ini selalu melekat bahkan di setiap benak para sejarahwan sekalipun yang hirau akan fenomena tersebut. Begitu banyak pihak yang dirugikan dan tidak terhitung berapa banyaknya kerugian fisik maupun psikis di setiap negara yang terlibat. Ketika semua kemampuan militer, teknologi, ekonomi sampai industri dipacu hingga titik batas kapabilitas masing-masing pihak, ketika itu juga lah dunia terasa menjadi tempat yang paling tidak aman.

Namun salah satu faktor tebesar Perang Dunia II ini nyatanya Jerman yang merasa jadi pihak palinh dirugikan dan terbebani akan warisan Perang Dunia I disamping amarah dan rasa malu kalah dalam Perang Dunia I. Beban itu yakni isi-isi perjanjian Versailles sebagai jalan penyelesaian Perang Dunia II yang dinilai terlalu memberatkan Jeman. Sebagian besar kesepakatan tersebut adalah diharuskannya beberapa wilayah yang pernah diokupasi Jerman dikembalikan kepada negara-negara asalnya. Dan akhirnya Jerman sebagai negara yang memulai perang harus membayar ganti rugi sebagai dana reparasi kepada negara-negara yang hancur akibat perang sebesar 6,600 juta pounsdterling, jumlah yang sangat membebani Jerman saat itu (Alief, 2011)

Karena itulah Jerman berusaha untuk membalas dendam atas apa yang menimpa mereka paska Perang Dunia I, terutama kepada negara-negara yang termasuk Triple Entente yakni Inggris, Prancis dan Rusia. Maka munculah ide untuk menonjolkan supremasi Jerman, dengan cara menyebarkan semangat berbeda dari negara-negara lain di Eropa, tentu saja masih dikaitkan keinginan mereka memperlihatkan Jerman yang baru yang lebih eksklusif. Adolf Hitler dengan NAZI nya muncul sebagai pemerintahan baru yang mengakar kuat di seluruh Jerman dengan doktrin Fasisnya dan giat menyebarkan “Deustchland Uber Alles” yang diantaranya mengatakan bahwa bangsa Arya adalah bangsa tertinggi dan terhormat dibanding bangsa lainnya.
Keinginan membangun Jerman yang baru itu diwujudkan Hitler dan NAZI nya dengan membangun angkatan perang yang kuat, menciptakan tentara-tentara pemberani yang tidak takut mati, menciptakan Gestapo sebagai salah satu penopang kekuatan militer di bidang intelijen polisi. Lalu terkait supremasi bangsa Arya, Hitler melihat bahwa Yahudi adalah bangsa yang paling berpotensi menyingkirkan dominasi mereka di masa depan, dengan demikian dia menyebarkan doktrin anti-semit atau anti Yahudi di seluruh Jerman, implikasinya menciptakan kamp-kamp konsentrasi di berbagai wilayah negeri untuk menampung orang-orang Yahudi yang dijadikan budak industri dan sebagain dari mereka dimusnahkan.
Jerman pun membangun kerjasama erat dengan Jepang dan Italia terkait kesamaan visi dan pandangan fasis mereka. Italia sebetulnya adalah salah satu negara pemenang Perang Dunia I, namun justru karena menjadi pemenang, Italia mendapatkan keuntungan dari isi perjanjian Versailles, tapi perlahan tuntutan mereka tidak digubris pada perjanjian tersebut (Crayonpedia, 2010).
Kemudian mereka memutuskan membangun Italia baru dibawah pimpinan Bennito Mussolini yang menyuarakan fasisme sama seperti Adolf Hitler di Jerman. Begitu pula dengan Jepang yang pada saat itu muncul menjadi negara industri baru berkat pembangunan gigih di dalam negerinya. Namun karena kemajuan mereka itulah mereka menjadi negara imperialis yang tidak segan menyerang negara sekitar untuk kepentingan mereka yang pada akhirnya menjadi paham ultranasionalis yang memandang rendah bangsa lain seperti halnya Jerman dan Italia.
Bersatunya tiga negara yang memiliki paham dan ideologi yang sama persis dianggap mengancam perdamaian dunia, lagipula ideologi fasis yang totalitarian tersebut sangat bertentangan dengan liberalisme yang dimiliki negara-negara blok sekutu, Inggris, Prancis dan Amerika. Ditambah Komunisme yang masih kokoh berdiri di wilayah Uni Soviet yang siap menyebar kapan saja ke seluruh dunia melalui media apapun. Tapi meskipun begitu, perang tetap berjalan secara regional. Dalam tahap ini membuat masing-masing negara yang terlibat akhirnya “terpaksa” melakukan politik mencari kawan untuk membangun kekuatan setiap poros, baik totaliter kanan (Jerman, Jepang dan Italia), totaliter kiri (Uni Soviet) yang merasa terancam akan supremasi Jerman di wilayahnya, serta poros sekutu yang dipimpin Inggris pada awalnya sebelum Amerika terlibat mulai tahun 1941 paska Pearl Harbor. Akibat itulah akhirnya negara-negara yang dalam keadaan waspada dan siaga tersebut merasa harus membangun persenjataan negaranya masing-masing karena security dilemma yang muncul sendirinya.
Kemudian sebagai negara yang ingin membangun segala aspek ekonomi, teknologi, industri dan militer, tentunya tahap invasi atau okupasi terhadap negara lain di sekitarnya seperti merupakan hal yang harus bahkan lazim dilakukan. Terlepas apa itu tujuannya, apakah sekedar menginvasi untuk memperlihatkan kekuatan dan kemampuan militernya, atau memang membutuhkan wilayah untuk mendirikan wilayah industri baik senjata atau bidang perekonomian lainnya.
Maka mulai lah pada akhir 1930-an Jepang menginvasi wilayah Manchuria, wilayah seberang lautan Jepang yang merupakan wilayah China untuk mulai menunjukkan kepabilitas tempur mereka. Disusul invasi Jerman ke kota Danzig di Polandia pada 1939 yang Hitler hendaki kota tersebut menjadi wilayah industri senjata. Namun berbeda dengan invasi yang dilakukan Jepang yang bertempur hanya antara dua negara, yakni Jepang dan China, penyerangan Jerman ke Polandia Barat tersebut memancing amarah tentara Prancis dan Inggris yang merasa tersinggung karena eksistensi mereka di wilayah Polandia terusik. Namun tidak hanya mereka, secara tidak langsung apabila Jerman berhasil menguasai Polandia, maka wilayah Uni Soviet pun akan terancam dengan okupasi militer Jerman disana.
Italia tidak kalah ambisius, sebagai negara yang mulai memproklamirkan diri sebagai negara fasis dan menyebarkan doktrin ultranasionalisme, mereka sudah sepantasnya melakukan apa yang Jerman dan Jepang lakukan. Karena mereka takut akan adanya chaos dengan Jerman yang dominan di kawasa Eropa Timur dan Utara, akhirnya mereka mengalihkan sasarn imperialisme mereka ke kawasan Afrika Utara dan Timur. Namun tidak ada wilayah yang gratis dan ditempati secara cuma-cuma, di wilayah Afrika Utara, mulai dari Maroko, Tunisia, Aljazair, Libya, Mesir hingga ke Ethiopia tentara Prancis sudah lebih dulu menancapkan kekuasaannya di wilayah tersebut. Meskipun pada awalnya pasukan Italia sempat kewalahan dipukul mundur pasukan Prancis, namun melihat hal ini Jerman menurunkan bala bantuannya kesana dan akhirnya pasukan Prancis dapat dikalahkan dan wilayah Afrika Utara sampai Afrika Timur dapat dikuasai pasukan Italia dan Jerman.
Karena pertempuran yang sengit diantara keduanya, Italia memutuskan menjadikan Prancis sebagai salah satu musuh besarnya dalam perang, semangat anti-Prancis dikobarkan di setiap benak prajurit pimpinan Mussolini tersebut. Melihat hal tersebut, Hitler menjadikan momentum ini sebagai ajang penguatan kerjasama militer. Merasa berhutang budi atas bantuannya di Afrika Utara, sebagian pasukan Italia pun ikut turun membantu Jerman menekan Prancis di kawasan Eropa Timur dekat wilayah Balkan. Tidak hanya itu, pasukan Jerman pun bergerak ke utara, mulai dari menginvasi Denmark dan menyeberang ke wilayah Skandinavia tepatnya ke Norwegia (Eddy Utomo, 2011). Namun lagi-lagi disana mereka bertemu pasukan sekutu Inggris-Prancis yang pada akhirnya berhasil ditaklukan. Tapi seiring waktu berlalu, Jerman yang merasa amat percaya diri akan kemampuan tempur prajuritnya yang selalu memenangkan setiap pertempuran, membuat mereka “nekad” menyerang wilayah Uni Soviet. Padahal sebelumnya mereka sepakat untuk saling menahan senjata, tapi dengan penyerangan mendadak tersebut, artinya Jerman melanggar kesepakatan bersama diantara mereka. Atas peristiwa itu, Uni Soviet yang sakit hati akhrinya memtuskan untuk bergabung dengan Blok Sekutu. Dengan kerjasama itu artinya pihak Uni Soviet dan pihak Blok Sekutu melupakan sesaat persaingan ideologis antara kaum Liberalis dan Komunis diantara mereka yang pada awalnya blok-blok sekutu menerapkan prinsip anti-komunisme.
Di lain pihak, Jepang yang berambisi menguasai dan memimpin bangsa-bangsa Asia dibawah kepemimpinannya terus memperlihatkan diri sebagai kekuatan baru di wilayah Asia Timur dan Pasifik baik secara ekonomi, teknologi, industri dan militer berkat Restorasi Meiji beberapa tahun sebelumnya. Sama seperti Jerman dan Italia, mereka terus menginvasi wilayah-wilayah terdekat yang dianggap lemah oleh mereka, hingga sampai jauh ke selatan di Filipina dan Indonesia.
Diawali atas serangan mendadak pangkalan laut dan udara Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, Desember 1941, memancing amarah Amerika Serikat untuk terlibat dalam perang di Pasifik dan Asia Timur. Amerika yang tadinya dianggap netral, meskipun mendukung sepenuhnya negara Blok Sekutu, namun awalnya tidak mengindikasikan untuk mengikuti jalannya perang, akhirnya atas perintah Roosevelt langsung memutuskan untuk turut serta dalam peperangan. Namun banyak tersiar kabar ada suatu kejanggalan akan keikutsertaan mereka dalam Perang Dunia II. Indikasi itu muncul karena banyak sejarahwan mengatakan bahwa beberapa bulan sebelumnya sebagaian besar warga Amerika menolak keterlibatan negaranya turut serta dalam peperangan. Ditambah pribadi presiden Roosevelt yang memang memiliki sifat haus perang dan haus kekuasaan untuk mendominasi segala hal. Atas data itu banyak yang memiliki keyakinan bahwa serangan Jepang ke Pearl Harbor disaat matahari baru terbit itu sesungguhnya telah diketahui dan pesawat-pesawat Jepang telah terdeteksi radar Amerika yang saat itu memang tergolong cukup canggih. Namun karena Amerika, khususnya presiden Roosevelt yang nampak “gatal” melihat negara lain berperang sementara Amerika hanya diam saja, maka Roosevelt seolah-olah menjadikan serangan Pearl Harbor itu sebagai alasan paling masuk akal dan dapat diterima sebagian besar masyarakat Amerika pada saat itu.
Maka terjadilah sebuah perang yang melebih dahsyatnya Perang Dunia I. Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa ditengarai sebagai salah satu faktor pendukung terjadinya Perang Dunia II. Keanggotaan yang bersifat sukarela dan bisa keluar-masuk kapan saja membuat setiap negara yang terlibat didalamnya hanya sebatas formalitas, dan di sisi lain mereka tetap saja mempersiapkan untuk keadaan terburuk seperti perang dengan membangun segenap kekuatan ekonomi, teknologi dan terutama militer serta ditopang oleh industri persenjataan di masing-masing negara.
Jadi sejauh ini bisa dipahami bahwa terjadinya Perang Dunia II sesungguhnya masihada keterkaitan dengan Perang Dunia I sekitar dua puluh tahun sebelumnya. Nah dalam masa damai, atau lebih tepatnya masa gencatan senjata itu, setiap negara yang berpartisipasi dalam Perang Dunia II memiliki masa cukup lama untuk mempersiapkan diri.
Kehancuran yang dialami banyak negara akibat Perang Dunia I memaksa mereka mau tidak mau untuk membangun dan merestrukturisasi negara mereka masing-masing. Untuk itulah dalam pembangunan industri mereka butuh bahan baku, wilayah sekaligus negara tujuan pemasaran produk mereka. Dan satu-satunya cara untuk meraih ketiga faktor tersebut hanyalah dengan cara menginvasi wilayah-wilayah tertentu yang dianggap layak untuk mencari sumber daya-sumber daya untuk dirubah menjadi bahan baku, tempat industri nya sendiri dan sudha pasti negara atau wilayah itu dijadikan tujuan pemasaran produknya. Contohnya Jerman yang menginvasi Polandia, Italia menyerbu kawasan Afrika Utara dan Jepang yang ingin menguasai Asia-Pasifik. (Herbowo, 2009)
Mungkin jika setiap negara kuat memiliki daerah tujuan untuk ditaklukan masing-masing berikut ketiga tujuan diatas semuanya terpenuhi, masing-masing negara akan damai-damai saja tanpa saling iri akan keunggulan negara jajahan pesaingnya. Tapi karena kenyataannya potensi sumber daya alam dan manusia di setiap negara taklukan berbeda, negara-negara yang merasa kuat akan saling berebut wilayah dan bersengketa akan hal ini.
Setelah perekonomian negara-negara membaik berkat pesatnya bidang industri yang dimiliki, maka timbulah niat mempersenjatai diri sendiri untuk menjaga keamanan dan stabilitas wilayah. Namun karena marak negara-negara lain yang melakukan hal sama untuk mempersenjatai diri, maka timbulah rasa saling curiga satu sama lain, yang kita kenal dengan security dilemma. Bagi beberapa negara yang menyikapi hal ini dengan bijak, mereka  juga bersepakat menerapkan konsep deterrence, yakni saling menahan diri untuk tidak memulai serangan. Karena situasi pra Perang Dunia II dinilai sangat riskan bila menyangkut isu keamanan dan stabilitas negara.
Maka negara-negara yang mendapati dirinya rentan diserang akibat situasi yang labil saat itu mulai mencari kawan dan sekutu-sekutu yang memiliki ideologi dan pemikiran sama dengan mereka. Munculah negara-negara berpaham Fasis yang saling bertentangan dengan negara-negara Demokrasi/Liberal juga Komunis. Namun yang patut dicermati dan akan selalu menjadi pertanyaan bagi siapa saja yang hirau akan Perang Dunia II, apakah bersatunya mereka itu memang didasari kesamaan ideologi dan visi negara atau hanya dipaksakan sama saja untuk mendapatkan kawan yang dinilai strategis dan menguntungkan bagi negaranya? Pertanyaan ini tidak lepas dari pernyataan Thomas Hobbes mengenai sifat dasar manusia yang tidak ada bedanya seperti Serigala yang selalu mencari keuntungan baginya disetiap peristiwa yang terjadi.
Sumber:
ALIEF DZULFIKAR (2010) Perjanjian Versailles. Apa Aja Ada. Weblog [Online] 1 Agustus 2010. Didapat dari http://kerenbos-apaajaada.blogspot.com/2010/08/perjanjian-versailles.html. [Diakses 10 Oktober 2011]

FADEL MUHAMMAD IQBAL (2011) Faktor Penyebab Terjadinya Perang Dunia II. My Handwritings. Weblog [Online] 22 April 2011. Didapat dari http://fadelsblog.blogspot.com/2011/04/faktor-faktor-peyebab-perang-dunia-ii.html. [Diakses 15 Oktober 2011]

CRAYONPEDIA (2010) Latar Belakang Pihak-Pihak yang Berperang Dalam Perang Dunia II. [Online]. Didapat dari http://www.crayonpedia.org/mw/Latar_Belakang_Pihak-Pihak_Yang_Berperang_Dalam_Perang_Dunia_II_9.2. [Diakses  15 Oktober 2011]

EDDY UTOMO (2011) Perang Dunia II (Bagian Pertama). Marduta. Weblog [Online] 17 Juli 2011. Didapat dari http://marduta.com/rangkuman-materi-ips-kelas-9/81. [Diakses 15 Oktober 2011]

MUHAMMAD TRIYADI WIBOWO (2009) Perang Dunia dan Pengaruhnya. The Historia. Weblog [Online] 2009. Didapat dari http://histoer.50webs.com/article%205.html . [Diakses 16 Oktober 2011]