![]() |
Para pemimpin negara blok aliansi Perang Dunia II: Winston Churchil, F.D. Roosevelt dan Joseph Stallin [Inggris, Amerika dan Uni Soviet] |
Sindrom “narsis”
nampaknya menjadi salah satu faktor dominan yang memicu terjadinya Perang Dunia
II tahun 1939-1945. Bagaimana tidak, hanya karena tiga negara yang “narsis”
akan bangsanya yang mereka anggap paling unggul dibanding bangsa-bangsa lainnya
di dunia, membuat mereka menginvasi, merebut dan mengokupasi wilayah negara
lain terdekatnya. Semangat nasionalisme berlebihan itu dipupuk rasa dendam dan
amarah yang masih mereka simpan akan kekalahan mereka saat Perang Dunia I, dua
puluh tahun sebelumnya. Jerman, Jepang dan Italia muncul sebagai negara yang
merasa bahwa hanya bangsa mereka lah yang dianggap paling terhormat dan
Namun sesungguhnya, apa
penyebab Perang Dunia II itu terjadi dan berjalan dengan dahsyatnya? Pertanyaan
ini selalu melekat bahkan di setiap benak para sejarahwan sekalipun yang hirau
akan fenomena tersebut. Begitu banyak pihak yang dirugikan dan tidak terhitung
berapa banyaknya kerugian fisik maupun psikis di setiap negara yang terlibat.
Ketika semua kemampuan militer, teknologi, ekonomi sampai industri dipacu
hingga titik batas kapabilitas masing-masing pihak, ketika itu juga lah dunia terasa
menjadi tempat yang paling tidak aman.
Namun salah satu
faktor tebesar Perang Dunia II ini nyatanya Jerman yang merasa jadi pihak
palinh dirugikan dan terbebani akan warisan Perang Dunia I disamping amarah dan
rasa malu kalah dalam Perang Dunia I. Beban itu yakni isi-isi perjanjian
Versailles sebagai jalan penyelesaian Perang Dunia II yang dinilai terlalu
memberatkan Jeman. Sebagian besar kesepakatan tersebut adalah diharuskannya
beberapa wilayah yang pernah diokupasi Jerman dikembalikan kepada negara-negara
asalnya. Dan akhirnya Jerman sebagai negara yang memulai perang harus membayar
ganti rugi sebagai dana reparasi kepada negara-negara yang hancur akibat perang
sebesar 6,600 juta pounsdterling, jumlah yang sangat membebani Jerman saat itu
(Alief, 2011)
Karena itulah Jerman
berusaha untuk membalas dendam atas apa yang menimpa mereka paska Perang Dunia
I, terutama kepada negara-negara yang termasuk Triple Entente yakni Inggris,
Prancis dan Rusia. Maka munculah ide untuk menonjolkan supremasi Jerman, dengan
cara menyebarkan semangat berbeda dari negara-negara lain di Eropa, tentu saja
masih dikaitkan keinginan mereka memperlihatkan Jerman yang baru yang lebih
eksklusif. Adolf Hitler dengan NAZI nya muncul sebagai pemerintahan baru yang
mengakar kuat di seluruh Jerman dengan doktrin Fasisnya dan giat menyebarkan
“Deustchland Uber Alles” yang diantaranya mengatakan bahwa bangsa Arya adalah
bangsa tertinggi dan terhormat dibanding bangsa lainnya.
Keinginan membangun
Jerman yang baru itu diwujudkan Hitler dan NAZI nya dengan membangun angkatan
perang yang kuat, menciptakan tentara-tentara pemberani yang tidak takut mati,
menciptakan Gestapo sebagai salah satu penopang kekuatan militer di bidang
intelijen polisi. Lalu terkait supremasi bangsa Arya, Hitler melihat bahwa
Yahudi adalah bangsa yang paling berpotensi menyingkirkan dominasi mereka di
masa depan, dengan demikian dia menyebarkan doktrin anti-semit atau anti Yahudi
di seluruh Jerman, implikasinya menciptakan kamp-kamp konsentrasi di berbagai
wilayah negeri untuk menampung orang-orang Yahudi yang dijadikan budak industri
dan sebagain dari mereka dimusnahkan.
Jerman pun membangun
kerjasama erat dengan Jepang dan Italia terkait kesamaan visi dan pandangan
fasis mereka. Italia sebetulnya adalah salah satu negara pemenang Perang Dunia
I, namun justru karena menjadi pemenang, Italia mendapatkan keuntungan dari isi
perjanjian Versailles, tapi perlahan tuntutan mereka tidak digubris pada
perjanjian tersebut (Crayonpedia,
2010).
Kemudian mereka
memutuskan membangun Italia baru dibawah pimpinan Bennito Mussolini yang
menyuarakan fasisme sama seperti Adolf Hitler di Jerman. Begitu pula dengan
Jepang yang pada saat itu muncul menjadi negara industri baru berkat
pembangunan gigih di dalam negerinya. Namun karena kemajuan mereka itulah
mereka menjadi negara imperialis yang tidak segan menyerang negara sekitar
untuk kepentingan mereka yang pada akhirnya menjadi paham ultranasionalis yang
memandang rendah bangsa lain seperti halnya Jerman dan Italia.
Bersatunya tiga negara
yang memiliki paham dan ideologi yang sama persis dianggap mengancam perdamaian
dunia, lagipula ideologi fasis yang totalitarian tersebut sangat bertentangan
dengan liberalisme yang dimiliki negara-negara blok sekutu, Inggris, Prancis
dan Amerika. Ditambah Komunisme yang masih kokoh berdiri di wilayah Uni Soviet
yang siap menyebar kapan saja ke seluruh dunia melalui media apapun. Tapi meskipun
begitu, perang tetap berjalan secara regional. Dalam tahap ini membuat
masing-masing negara yang terlibat akhirnya “terpaksa” melakukan politik
mencari kawan untuk membangun kekuatan setiap poros, baik totaliter kanan
(Jerman, Jepang dan Italia), totaliter kiri (Uni Soviet) yang merasa terancam
akan supremasi Jerman di wilayahnya, serta poros sekutu yang dipimpin Inggris
pada awalnya sebelum Amerika terlibat mulai tahun 1941 paska Pearl Harbor.
Akibat itulah akhirnya negara-negara yang dalam keadaan waspada dan siaga
tersebut merasa harus membangun persenjataan negaranya masing-masing karena security dilemma yang muncul sendirinya.
Kemudian sebagai negara
yang ingin membangun segala aspek ekonomi, teknologi, industri dan militer,
tentunya tahap invasi atau okupasi terhadap negara lain di sekitarnya seperti
merupakan hal yang harus bahkan lazim dilakukan. Terlepas apa itu tujuannya,
apakah sekedar menginvasi untuk memperlihatkan kekuatan dan kemampuan
militernya, atau memang membutuhkan wilayah untuk mendirikan wilayah industri
baik senjata atau bidang perekonomian lainnya.
Maka mulai lah pada
akhir 1930-an Jepang menginvasi wilayah Manchuria, wilayah seberang lautan
Jepang yang merupakan wilayah China untuk mulai menunjukkan kepabilitas tempur
mereka. Disusul invasi Jerman ke kota Danzig di Polandia pada 1939 yang Hitler
hendaki kota tersebut menjadi wilayah industri senjata. Namun berbeda dengan
invasi yang dilakukan Jepang yang bertempur hanya antara dua negara, yakni
Jepang dan China, penyerangan Jerman ke Polandia Barat tersebut memancing amarah
tentara Prancis dan Inggris yang merasa tersinggung karena eksistensi mereka di
wilayah Polandia terusik. Namun tidak hanya mereka, secara tidak langsung
apabila Jerman berhasil menguasai Polandia, maka wilayah Uni Soviet pun akan
terancam dengan okupasi militer Jerman disana.
Italia tidak kalah
ambisius, sebagai negara yang mulai memproklamirkan diri sebagai negara fasis
dan menyebarkan doktrin ultranasionalisme, mereka sudah sepantasnya melakukan
apa yang Jerman dan Jepang lakukan. Karena mereka takut akan adanya chaos dengan Jerman yang dominan di
kawasa Eropa Timur dan Utara, akhirnya mereka mengalihkan sasarn imperialisme
mereka ke kawasan Afrika Utara dan Timur. Namun tidak ada wilayah yang gratis
dan ditempati secara cuma-cuma, di wilayah Afrika Utara, mulai dari Maroko,
Tunisia, Aljazair, Libya, Mesir hingga ke Ethiopia tentara Prancis sudah lebih
dulu menancapkan kekuasaannya di wilayah tersebut. Meskipun pada awalnya
pasukan Italia sempat kewalahan dipukul mundur pasukan Prancis, namun melihat
hal ini Jerman menurunkan bala bantuannya kesana dan akhirnya pasukan Prancis
dapat dikalahkan dan wilayah Afrika Utara sampai Afrika Timur dapat dikuasai
pasukan Italia dan Jerman.
Karena pertempuran
yang sengit diantara keduanya, Italia memutuskan menjadikan Prancis sebagai
salah satu musuh besarnya dalam perang, semangat anti-Prancis dikobarkan di
setiap benak prajurit pimpinan Mussolini tersebut. Melihat hal tersebut, Hitler
menjadikan momentum ini sebagai ajang penguatan kerjasama militer. Merasa
berhutang budi atas bantuannya di Afrika Utara, sebagian pasukan Italia pun
ikut turun membantu Jerman menekan Prancis di kawasan Eropa Timur dekat wilayah
Balkan. Tidak hanya itu, pasukan Jerman pun bergerak ke utara, mulai dari
menginvasi Denmark dan menyeberang ke wilayah Skandinavia tepatnya ke Norwegia
(Eddy Utomo, 2011). Namun lagi-lagi disana mereka bertemu pasukan sekutu
Inggris-Prancis yang pada akhirnya berhasil ditaklukan. Tapi seiring waktu
berlalu, Jerman yang merasa amat percaya diri akan kemampuan tempur prajuritnya
yang selalu memenangkan setiap pertempuran, membuat mereka “nekad” menyerang
wilayah Uni Soviet. Padahal sebelumnya mereka sepakat untuk saling menahan
senjata, tapi dengan penyerangan mendadak tersebut, artinya Jerman melanggar
kesepakatan bersama diantara mereka. Atas peristiwa itu, Uni Soviet yang sakit
hati akhrinya memtuskan untuk bergabung dengan Blok Sekutu. Dengan kerjasama
itu artinya pihak Uni Soviet dan pihak Blok Sekutu melupakan sesaat persaingan ideologis
antara kaum Liberalis dan Komunis diantara mereka yang pada awalnya blok-blok
sekutu menerapkan prinsip anti-komunisme.
Di lain pihak, Jepang
yang berambisi menguasai dan memimpin bangsa-bangsa Asia dibawah
kepemimpinannya terus memperlihatkan diri sebagai kekuatan baru di wilayah Asia
Timur dan Pasifik baik secara ekonomi, teknologi, industri dan militer berkat
Restorasi Meiji beberapa tahun sebelumnya. Sama seperti Jerman dan Italia,
mereka terus menginvasi wilayah-wilayah terdekat yang dianggap lemah oleh
mereka, hingga sampai jauh ke selatan di Filipina dan Indonesia.
Diawali atas serangan
mendadak pangkalan laut dan udara Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, Desember
1941, memancing amarah Amerika Serikat untuk terlibat dalam perang di Pasifik
dan Asia Timur. Amerika yang tadinya dianggap netral, meskipun mendukung
sepenuhnya negara Blok Sekutu, namun awalnya tidak mengindikasikan untuk
mengikuti jalannya perang, akhirnya atas perintah Roosevelt langsung memutuskan
untuk turut serta dalam peperangan. Namun banyak tersiar kabar ada suatu
kejanggalan akan keikutsertaan mereka dalam Perang Dunia II. Indikasi itu
muncul karena banyak sejarahwan mengatakan bahwa beberapa bulan sebelumnya sebagaian
besar warga Amerika menolak keterlibatan negaranya turut serta dalam
peperangan. Ditambah pribadi presiden Roosevelt yang memang memiliki sifat haus
perang dan haus kekuasaan untuk mendominasi segala hal. Atas data itu banyak
yang memiliki keyakinan bahwa serangan Jepang ke Pearl Harbor disaat matahari
baru terbit itu sesungguhnya telah diketahui dan pesawat-pesawat Jepang telah
terdeteksi radar Amerika yang saat itu memang tergolong cukup canggih. Namun
karena Amerika, khususnya presiden Roosevelt yang nampak “gatal” melihat negara
lain berperang sementara Amerika hanya diam saja, maka Roosevelt seolah-olah
menjadikan serangan Pearl Harbor itu sebagai alasan paling masuk akal dan dapat
diterima sebagian besar masyarakat Amerika pada saat itu.
Maka terjadilah
sebuah perang yang melebih dahsyatnya Perang Dunia I. Kegagalan Liga
Bangsa-Bangsa ditengarai sebagai salah satu faktor pendukung terjadinya Perang
Dunia II. Keanggotaan yang bersifat sukarela dan bisa keluar-masuk kapan saja
membuat setiap negara yang terlibat didalamnya hanya sebatas formalitas, dan di
sisi lain mereka tetap saja mempersiapkan untuk keadaan terburuk seperti perang
dengan membangun segenap kekuatan ekonomi, teknologi dan terutama militer serta
ditopang oleh industri persenjataan di masing-masing negara.
Jadi sejauh ini bisa
dipahami bahwa terjadinya Perang Dunia II sesungguhnya masihada keterkaitan
dengan Perang Dunia I sekitar dua puluh tahun sebelumnya. Nah dalam masa damai,
atau lebih tepatnya masa gencatan senjata itu, setiap negara yang
berpartisipasi dalam Perang Dunia II memiliki masa cukup lama untuk
mempersiapkan diri.
Kehancuran yang
dialami banyak negara akibat Perang Dunia I memaksa mereka mau tidak mau untuk
membangun dan merestrukturisasi negara mereka masing-masing. Untuk itulah dalam
pembangunan industri mereka butuh bahan baku, wilayah sekaligus negara tujuan
pemasaran produk mereka. Dan satu-satunya cara untuk meraih ketiga faktor
tersebut hanyalah dengan cara menginvasi wilayah-wilayah tertentu yang dianggap
layak untuk mencari sumber daya-sumber daya untuk dirubah menjadi bahan baku,
tempat industri nya sendiri dan sudha pasti negara atau wilayah itu dijadikan
tujuan pemasaran produknya. Contohnya Jerman yang menginvasi Polandia, Italia
menyerbu kawasan Afrika Utara dan Jepang yang ingin menguasai Asia-Pasifik.
(Herbowo, 2009)
Mungkin jika setiap
negara kuat memiliki daerah tujuan untuk ditaklukan masing-masing berikut
ketiga tujuan diatas semuanya terpenuhi, masing-masing negara akan damai-damai
saja tanpa saling iri akan keunggulan negara jajahan pesaingnya. Tapi karena
kenyataannya potensi sumber daya alam dan manusia di setiap negara taklukan
berbeda, negara-negara yang merasa kuat akan saling berebut wilayah dan
bersengketa akan hal ini.
Setelah perekonomian
negara-negara membaik berkat pesatnya bidang industri yang dimiliki, maka
timbulah niat mempersenjatai diri sendiri untuk menjaga keamanan dan stabilitas
wilayah. Namun karena marak negara-negara lain yang melakukan hal sama untuk mempersenjatai
diri, maka timbulah rasa saling curiga satu sama lain, yang kita kenal dengan security dilemma. Bagi beberapa negara
yang menyikapi hal ini dengan bijak, mereka
juga bersepakat menerapkan konsep deterrence,
yakni saling menahan diri untuk tidak memulai serangan. Karena situasi pra
Perang Dunia II dinilai sangat riskan bila menyangkut isu keamanan dan
stabilitas negara.
Maka negara-negara
yang mendapati dirinya rentan diserang akibat situasi yang labil saat itu mulai
mencari kawan dan sekutu-sekutu yang memiliki ideologi dan pemikiran sama
dengan mereka. Munculah negara-negara berpaham Fasis yang saling bertentangan
dengan negara-negara Demokrasi/Liberal juga Komunis. Namun yang patut dicermati
dan akan selalu menjadi pertanyaan bagi siapa saja yang hirau akan Perang Dunia
II, apakah bersatunya mereka itu memang didasari kesamaan ideologi dan visi
negara atau hanya dipaksakan sama saja untuk mendapatkan kawan yang dinilai
strategis dan menguntungkan bagi negaranya? Pertanyaan ini tidak lepas dari
pernyataan Thomas Hobbes mengenai sifat dasar manusia yang tidak ada bedanya
seperti Serigala yang selalu mencari keuntungan baginya disetiap peristiwa yang
terjadi.
Sumber:
ALIEF
DZULFIKAR (2010) Perjanjian Versailles. Apa
Aja Ada. Weblog [Online] 1 Agustus 2010. Didapat dari http://kerenbos-apaajaada.blogspot.com/2010/08/perjanjian-versailles.html.
[Diakses 10 Oktober 2011]
FADEL
MUHAMMAD IQBAL (2011) Faktor Penyebab Terjadinya Perang Dunia II. My Handwritings. Weblog [Online] 22
April 2011. Didapat dari http://fadelsblog.blogspot.com/2011/04/faktor-faktor-peyebab-perang-dunia-ii.html.
[Diakses 15 Oktober 2011]
CRAYONPEDIA
(2010) Latar Belakang Pihak-Pihak yang Berperang
Dalam Perang Dunia II. [Online]. Didapat dari http://www.crayonpedia.org/mw/Latar_Belakang_Pihak-Pihak_Yang_Berperang_Dalam_Perang_Dunia_II_9.2.
[Diakses 15 Oktober 2011]
EDDY
UTOMO (2011) Perang Dunia II (Bagian Pertama). Marduta. Weblog [Online] 17 Juli 2011. Didapat dari http://marduta.com/rangkuman-materi-ips-kelas-9/81.
[Diakses 15 Oktober 2011]
MUHAMMAD
TRIYADI WIBOWO (2009) Perang Dunia dan Pengaruhnya. The Historia. Weblog [Online] 2009. Didapat dari http://histoer.50webs.com/article%205.html
. [Diakses 16 Oktober 2011]