Minggu, 13 Mei 2012

Realisme: Sebuah Pengenalan Awal


Salah satu tokoh Realisme, Niccolo Machiavelli

Dalam tulisan sebelumnya, saya telah memaparkan sepintas tentang apa itu HI dan juga apa yang akan kita dapatkan dalam HI. Saya memiliki keyakinan bahwa yang menjadi daya tarik utama HI adalah berbagai teori atau perspektif HI itu sendiri. Jika kemarin saya hanya menjelaskan sedikit kulit tentang Realisme dan Liberalisme/Idealisme, maka sekarang saya akan mencoba memaparkan satu persatu teori tersebut sedikit lebih jauh. Dan yang pertama adalah Realisme.
Realisme saya rasa adalah teori HI paling besar dan paling luas sekaligus paling umum digunakan dalam mempelajari HI sebagai disiplin ilmu. Seperti yang sudah saya sebut dalam tulisan sebelumnya, kaum realisme memiliki keyakinan bahwa sesungguhnya semua manusia itu jahat dan hanya mengutamakan kepentingan masing-masing, bagi mereka tidak ada kerjasama, yang ada hanyalah lawan dan penuh dengan kecurigaan diantara mereka. Nah hal tersebut adalah konsepsi paling dasar dalam mempelajari realisme. Bisa dibilang prinsip tersebut adalah modal utama anda menyelami realisme jika tidak ingin tenggelam dalam kebingungan.

Konsepsi realisme paling dasar tersebut terus tumbuh dan berkembang ke tahap yang selanjutnya, ibarat sel kanker yang terus menjalar dan membesar hingga ke tahapan tumor, realisme pun demikian, berawal dari kehendak seseorang sampai terus berdampak pada kebijakan negara dalam sistem internasional.
Ketika realisme ditransformasikan sebagai subjek yaitu negara, maka akan banyak permasalahan internasional yang bersumber dari teori ini. Dalam realisme, negara yang berdaulat adalah aktor kunci paling utama dalam hubungan internasional yang memiliki prinsip 3S, yakni Survive, Self-help dan Statism. Survive berarti setiap negara harus bisa selamat dan tetap “hidup” serta melangsungkan kegiatannya sebagai aktor internasional. Kita tahu bahwa dalam realisme, sistem internasional itu adalah anarki, yaitu suatu kondisi dimana tidak adanya sebuah otoritas tunggal pusat yang dapat mengatur setiap negara dalam interaksi dengan negara lainnya. Nah dalam situasin tersebut negara harus bisa survive.  Kemudian self-help, masih bersdasarkan kenyataan bahwa dunia internasional ini anarki, maka negara harus bisa menolong dirinya sendiri dan seakan haram hukumnya ketergantungan dengan negara lain, karena bagi kaum realisme, bergantung dengan negara lain, maka siap untuk didikte oleh negara yang terus memberi bantuan itu. Jadi self-help adalah jalan untuk menjadi survivor sejati. Dan terakhir statism, berarti segala sesuatu kegiatan yang dapat berdampak kepada politik suatu negara haruslah demi kepentingan negara. Kepentingan negara adalah mutlak dinomor satukan bagi setiap elemen pemerintahnya, mengingat negara adalah aktor utama bagi kaum realisme. Singkatnya, mereka yaitu negara seakan dimotivasi untuk berlomba-lomba memperkuat power demi kepentingan nasional mereka.
Jadi setelah kepercayaan bahwa manusia itu sejatinya berhati jahat, maka bolehlah kita sebut negara-negara sudah pasti memiliki niat agresif untuk mengejar kekuasaan. Nah hal ini saja sudah cukup nampaknya sebagai bahan meramalkan bahwa konflik  merupakan realitas yang akan terus-menerus terjadi dalam HI dan tidak dapat dihindarkan. Bahkan kaum realisme selalu memiliki bahasa tersendiri dalam menyikapi peristiwa, sebagai contoh, mereka enggan menyebutkan bahwa sebuah perdamaian adalah sebuah keadaan nyaman, aman dan ketiadaan perang, namun mereka lebih suka menyebut perdamaian sebagai sebuah senggang waktu untuk mempersiapkan peperangan berikutnya. Dan nyata, hal tersebut terjadi saat terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa sebagai pengakhir Perang Dunia I, dunia memang “berdamai” namun apa yang terjadi dua puluh tahun kemudian, ternyata Perang Dunia II pecah. Ya, kaum realis memaklumi kegagalan LBB dalam menjaga “perdamaian” karena mereka sudah meramalkan hal itu terjadi.
Namun meskipun menjaga perdamaian sulit diwujudkan secara total, dalam hal sekedar menjaga keamanan bisa dilakukan. Biasanya negara-negara tersebut membentuk berbagai aliansi antar-negara untuk mencegah suatu negara menjadi negara adikuasa yang sangat mungkin menjadi ancaman bagi negara lainnya. Analogi nya, si A dan si B melihat si C yang berbadan besar berpotensi akan menjadi preman di lingkungannya, maka yang dilakukan si A dan B, mereka bisa menjadi sahabat dan menyatukan kekuatan untuk menjaga lingkungan atau bahkan juga mereka merangkul si C tersebut, dan mengalihkan perhatiannya untuk tidak menjadi preman. Saya bisa bilang mereka bertiga memiliki kepentingannya masing-masing, namun mereka melakukan “kerjasama” itu juga demi kepentingan mereka sendiri, tidak mau si C bertindak sewenang-wenang terhadap mereka.
Kemudian sejarah mengenai realisme itu sendiri kita bisa tarik sekitar 2500 tahun lalu. Saat itu salah satu tokoh pelopor realisme, Thucydides, seorang filusuf Yunani Kuno menuliskan sebuah tulisan berjudul “Peloponnesians Wars”. Dimana dalam karyanya itu diceritakan peperangan antar negara kota Yunani, yaitu masyarakat Athena dan Sparta. Thucydides menceritakan secara lengkap bagaimana pada masa tersebut, hubungan internasional dalam konteks negara kota di Yunani selalu diwarnai dengan pengejaran kekuasaan secara berkelanjutan dan diwujudkan dengan peperangan dan konflik dibanding diwarnai dengan kerjasama ataupun kegiatan bermoral lainnya. Sejarah pun berkata hingga sekarang, penguasa melakukan apa yang mereka mampu sedangkan yang kurang berkuasa hanya bisa menerimanya dengan pasrah.
Lalu kita melangkah ke abad XVI di masa Rennaisance, muncul tokoh realisme berikutnya dari Italia, Niccolo Machiavelli. Dalam karyanya “Il Principle”, dia menjelaskan secara lengkap bagaimana menjadi sang penguasa atau negarawan yang mampu mencapai tujuan-tujuan demi tercapainya kekuasaan maksimal. Contoh, para penguasa harus bisa bertindak curang, licik sampai melanggar janji-janji mereka bila dalam suatu hal akan mendatangkan keuntungan bagi mereka. Machiavelli berusaha mengarahkan para negarawan menjauhi etika, moral ataupun keadilan. Dia berkilah bahwa apa yang dituliskannya hanya sekedar proses optimalisasi sifat manusia itu sendiri yang penuh dengan kecurangan, licik, tidak bermoral bahkan kejam. Penganut teori ini sering disebut Machiavellian. Apakah teori ini masih relevan dengan keadaan sifat para pejabat atau pemerintah zaman sekarang? Anda sendiri yang memiliki penilaian.
Kemudian seabad berikutnya muncul Thomas Hobbes dari Inggris. Hobbes muncul disaat lingkungannya sama sekali jauh dari kondusif, bisa disebut masa “nature of state” atau kondisi manusia tanpa pemerintahan yang kekuasaannya jelas dan kuat. Di masa tersebut manusia bisa hidup secara bebas tanpa terkekang, namun konsekuensinya, kehidupan terasa “keji, kasar dan singkat”. Kondisi tersebut kembali lagi karena karakteristik manusia yang mencoba menguasai dan menekan yang lainnya. Karyanya yang berjudul “Leviathan” mencoba menjelaskan lebih lanjut tentang karakteristik manusia sampai dampaknya ketika maju ke tahap pengendalian karakteristik negara.
Untuk mempermudah teman-teman mengenal realisme secara utuh, inilah asumsi-asumsi dasar dan kunci realisme yang harus anda ketahui.
Manusia pada hakikatnya adalah mahluk selfish [mementingkan diri sendiri]. Maka sebagaimana manusia, negara pun akan memiliki sifat demikian.
Negara merupakan aktor utama. Jadi studi Hubungan Internasional dalak konteks realisme merupakan studi tentang negara-negara dengan tindakan atau aksi mereka. Ada dua hal paling penting tentang negara: Negara itu berdaulat [konsep kunci dalam HI] dan Negara itu dimotivasi oleh kepentingan nasional. Jadi apapun proses dan tindakannya, kebijakan luar negeri mereka akan sebisa mungkin diarahkan kepada kepentingan nasional.
Kekuasaan merupakan kunci untuk memahami tingkah laku dunia internasional dan motivasi negara.
Hubungan internasional itu penuh konflik. Pernyataan ini didasarkan pada salah satu dari tiga latar belakang yang berbeda: A] Seorang manusia itu mementingkan diri sendiri dan akan selalu bertindak untuk mendapatkan kepentingan mereka bahkan bila harus merugikan orang lain sekalipun. Karakteristik demikian tidak akan berubah. Atau B] Saat berada pada tingkatan negara, hubungan antar mereka akan ditransformasikan sedemikian rupa agar hasilnya selalu bermuara pada pengejaran kepentingan nasional yang pada satu waktu bisa saja menyebabkan perang karena berbenturan dengan nasionalisme negara lain. Atau C] Masalah bukan terletak pada karakteristik manusia atau negara, namun karena tidak adanya otoritas pusat yang kuat serta sanggup mengatur benyak negara sekaligus. Ini menyebabkan anarki dan ketidakamanan sehingga negara-negara pun akan bertindak apapun demi keselamatan negara mereka.