Salah satu tokoh Realisme, Niccolo Machiavelli |
Dalam tulisan sebelumnya, saya telah memaparkan
sepintas tentang apa itu HI dan juga apa yang akan kita dapatkan dalam HI. Saya
memiliki keyakinan bahwa yang menjadi daya tarik utama HI adalah berbagai teori
atau perspektif HI itu sendiri. Jika kemarin saya hanya menjelaskan sedikit
kulit tentang Realisme dan Liberalisme/Idealisme, maka sekarang saya akan
mencoba memaparkan satu persatu teori tersebut sedikit lebih jauh. Dan yang
pertama adalah Realisme.
Realisme saya rasa adalah teori HI paling besar dan
paling luas sekaligus paling umum digunakan dalam mempelajari HI sebagai
disiplin ilmu. Seperti yang sudah saya sebut dalam tulisan sebelumnya, kaum
realisme memiliki keyakinan bahwa sesungguhnya semua manusia itu jahat dan
hanya mengutamakan kepentingan masing-masing, bagi mereka tidak ada kerjasama,
yang ada hanyalah lawan dan penuh dengan kecurigaan diantara mereka. Nah hal
tersebut adalah konsepsi paling dasar dalam mempelajari realisme. Bisa dibilang
prinsip tersebut adalah modal utama anda menyelami realisme jika tidak ingin
tenggelam dalam kebingungan.
Konsepsi realisme paling dasar tersebut terus tumbuh
dan berkembang ke tahap yang selanjutnya, ibarat sel kanker yang terus menjalar
dan membesar hingga ke tahapan tumor, realisme pun demikian, berawal dari
kehendak seseorang sampai terus berdampak pada kebijakan negara dalam sistem
internasional.
Ketika realisme ditransformasikan sebagai subjek
yaitu negara, maka akan banyak permasalahan internasional yang bersumber dari
teori ini. Dalam realisme, negara yang berdaulat adalah aktor kunci paling
utama dalam hubungan internasional yang memiliki prinsip 3S, yakni Survive, Self-help dan Statism. Survive berarti setiap negara harus bisa selamat dan tetap “hidup”
serta melangsungkan kegiatannya sebagai aktor internasional. Kita tahu bahwa
dalam realisme, sistem internasional itu adalah anarki, yaitu suatu kondisi
dimana tidak adanya sebuah otoritas tunggal pusat yang dapat mengatur setiap
negara dalam interaksi dengan negara lainnya. Nah dalam situasin tersebut
negara harus bisa survive. Kemudian self-help,
masih bersdasarkan kenyataan bahwa dunia internasional ini anarki, maka negara
harus bisa menolong dirinya sendiri dan seakan haram hukumnya ketergantungan
dengan negara lain, karena bagi kaum realisme, bergantung dengan negara lain,
maka siap untuk didikte oleh negara yang terus memberi bantuan itu. Jadi self-help adalah jalan untuk menjadi survivor sejati. Dan terakhir statism, berarti segala sesuatu kegiatan
yang dapat berdampak kepada politik suatu negara haruslah demi kepentingan
negara. Kepentingan negara adalah mutlak dinomor satukan bagi setiap elemen
pemerintahnya, mengingat negara adalah aktor utama bagi kaum realisme.
Singkatnya, mereka yaitu negara seakan dimotivasi untuk berlomba-lomba
memperkuat power demi kepentingan
nasional mereka.
Jadi setelah kepercayaan bahwa manusia itu sejatinya
berhati jahat, maka bolehlah kita sebut negara-negara sudah pasti memiliki niat
agresif untuk mengejar kekuasaan. Nah hal ini saja sudah cukup nampaknya
sebagai bahan meramalkan bahwa konflik
merupakan realitas yang akan terus-menerus terjadi dalam HI dan tidak
dapat dihindarkan. Bahkan kaum realisme selalu memiliki bahasa tersendiri dalam
menyikapi peristiwa, sebagai contoh, mereka enggan menyebutkan bahwa sebuah
perdamaian adalah sebuah keadaan nyaman, aman dan ketiadaan perang, namun
mereka lebih suka menyebut perdamaian sebagai sebuah senggang waktu untuk
mempersiapkan peperangan berikutnya. Dan nyata, hal tersebut terjadi saat
terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa sebagai pengakhir Perang Dunia I, dunia memang
“berdamai” namun apa yang terjadi dua puluh tahun kemudian, ternyata Perang
Dunia II pecah. Ya, kaum realis memaklumi kegagalan LBB dalam menjaga
“perdamaian” karena mereka sudah meramalkan hal itu terjadi.
Namun meskipun menjaga perdamaian sulit diwujudkan
secara total, dalam hal sekedar menjaga keamanan bisa dilakukan. Biasanya
negara-negara tersebut membentuk berbagai aliansi antar-negara untuk mencegah
suatu negara menjadi negara adikuasa yang sangat mungkin menjadi ancaman bagi
negara lainnya. Analogi nya, si A dan si B melihat si C yang berbadan besar
berpotensi akan menjadi preman di lingkungannya, maka yang dilakukan si A dan
B, mereka bisa menjadi sahabat dan menyatukan kekuatan untuk menjaga lingkungan
atau bahkan juga mereka merangkul si C tersebut, dan mengalihkan perhatiannya
untuk tidak menjadi preman. Saya bisa bilang mereka bertiga memiliki
kepentingannya masing-masing, namun mereka melakukan “kerjasama” itu juga demi
kepentingan mereka sendiri, tidak mau si C bertindak sewenang-wenang terhadap
mereka.
Kemudian sejarah mengenai realisme itu sendiri kita
bisa tarik sekitar 2500 tahun lalu. Saat itu salah satu tokoh pelopor realisme,
Thucydides, seorang filusuf Yunani Kuno menuliskan sebuah tulisan berjudul “Peloponnesians Wars”. Dimana dalam
karyanya itu diceritakan peperangan antar negara kota Yunani, yaitu masyarakat
Athena dan Sparta. Thucydides menceritakan secara lengkap bagaimana pada masa
tersebut, hubungan internasional dalam konteks negara kota di Yunani selalu
diwarnai dengan pengejaran kekuasaan secara berkelanjutan dan diwujudkan dengan
peperangan dan konflik dibanding diwarnai dengan kerjasama ataupun kegiatan
bermoral lainnya. Sejarah pun berkata hingga sekarang, penguasa melakukan apa yang
mereka mampu sedangkan yang kurang berkuasa hanya bisa menerimanya dengan
pasrah.
Lalu kita melangkah ke abad XVI di masa Rennaisance,
muncul tokoh realisme berikutnya dari Italia, Niccolo Machiavelli. Dalam
karyanya “Il Principle”, dia
menjelaskan secara lengkap bagaimana menjadi sang penguasa atau negarawan yang
mampu mencapai tujuan-tujuan demi tercapainya kekuasaan maksimal. Contoh, para
penguasa harus bisa bertindak curang, licik sampai melanggar janji-janji mereka
bila dalam suatu hal akan mendatangkan keuntungan bagi mereka. Machiavelli
berusaha mengarahkan para negarawan menjauhi etika, moral ataupun keadilan. Dia
berkilah bahwa apa yang dituliskannya hanya sekedar proses optimalisasi sifat
manusia itu sendiri yang penuh dengan kecurangan, licik, tidak bermoral bahkan
kejam. Penganut teori ini sering disebut Machiavellian. Apakah teori ini masih
relevan dengan keadaan sifat para pejabat atau pemerintah zaman sekarang? Anda
sendiri yang memiliki penilaian.
Kemudian seabad berikutnya muncul Thomas Hobbes dari
Inggris. Hobbes muncul disaat lingkungannya sama sekali jauh dari kondusif,
bisa disebut masa “nature of state”
atau kondisi manusia tanpa pemerintahan yang kekuasaannya jelas dan kuat. Di
masa tersebut manusia bisa hidup secara bebas tanpa terkekang, namun
konsekuensinya, kehidupan terasa “keji, kasar dan singkat”. Kondisi tersebut
kembali lagi karena karakteristik manusia yang mencoba menguasai dan menekan
yang lainnya. Karyanya yang berjudul “Leviathan”
mencoba menjelaskan lebih lanjut tentang karakteristik manusia sampai dampaknya
ketika maju ke tahap pengendalian karakteristik negara.
Untuk mempermudah teman-teman mengenal realisme
secara utuh, inilah asumsi-asumsi dasar dan kunci realisme yang harus anda
ketahui.
Manusia pada hakikatnya adalah mahluk selfish [mementingkan diri sendiri].
Maka sebagaimana manusia, negara pun akan memiliki sifat demikian.
Negara merupakan aktor utama. Jadi studi Hubungan
Internasional dalak konteks realisme merupakan studi tentang negara-negara
dengan tindakan atau aksi mereka. Ada dua hal paling penting tentang negara:
Negara itu berdaulat [konsep kunci dalam HI] dan Negara itu dimotivasi oleh
kepentingan nasional. Jadi apapun proses dan tindakannya, kebijakan luar negeri
mereka akan sebisa mungkin diarahkan kepada kepentingan nasional.
Kekuasaan merupakan kunci untuk memahami tingkah
laku dunia internasional dan motivasi negara.
Hubungan internasional itu penuh konflik. Pernyataan
ini didasarkan pada salah satu dari tiga latar belakang yang berbeda: A] Seorang
manusia itu mementingkan diri sendiri dan akan selalu bertindak untuk
mendapatkan kepentingan mereka bahkan bila harus merugikan orang lain sekalipun.
Karakteristik demikian tidak akan berubah. Atau B] Saat berada pada tingkatan
negara, hubungan antar mereka akan ditransformasikan sedemikian rupa agar
hasilnya selalu bermuara pada pengejaran kepentingan nasional yang pada satu
waktu bisa saja menyebabkan perang karena berbenturan dengan nasionalisme
negara lain. Atau C] Masalah bukan terletak pada karakteristik manusia atau
negara, namun karena tidak adanya otoritas pusat yang kuat serta sanggup
mengatur benyak negara sekaligus. Ini menyebabkan anarki dan ketidakamanan
sehingga negara-negara pun akan bertindak apapun demi keselamatan negara
mereka.