Warga Israel yang tengah berdemo karena mahalnya biaya hidup, tampak mengenakan topeng Benjamin Netanyahu |
Membaca analisis orang ‘luar’ terhadap Israel,
mungkin sudah biasa. Mendengar Ahmadinejad berkali-kali menyatakan prediksinya
bahwa Israel sebentar lagi akan tumbang, juga sudah biasa. Namun, cukup menarik
bila kita membaca analisis orang Israel terhadap negaranya sendiri. Di
dalam Israel, sesungguhnya ada juga segelintir orang yang ‘tercerahkan’ dan
bisa menilai dengan jernih kebobrokan ‘negara’ dan pemerintahan Zionis. Mereka
menulis, melakukan aksi-aksi perdamaian, dan berorasi di berbagai negeri untuk membangkitkan
kesadaran sesama Yahudi dan umat manusia umumnya, supaya berhenti mendukung
Zionisme. Kelompok “Women in Black” misalnya. Mereka secara rutin
melakukan aksi berdiri dalam diam dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, sambil
membawa spanduk-spanduk anti penjajahan Palestina. Tak pelak, mereka
dikata-katai ‘pelacur’ dan ‘pengkhianat’ oleh orang-orang Israel.
Apa yang membangkitkan kesadaran orang-orang itu?
Tak lain, karena kondisi di dalam negeri Israel memang sangat buruk. Uri Avnery
dan Gilad Atzmon adalah dua penulis Israel yang sering menyuarakan kritik
terhadap pemerintahan Zionis. Dalam tulisan berjudul “Why Israel Will Not
Attack Iran”, Avnery dengan gaya sarkasmenya menyebut Israel bagaikan anak
sekolah yang mengancam “Hold me back, before I break his bones!”
Israel sesumbar akan menyerang Iran, dengan atau
tanpa persetujuan AS. Omong besar ini disiarkan tanpa henti oleh media massa di
seluruh dunia; memicu berbagai analisis dan talkshow. Di dalam negeri pun, para
pemimpin Zionis tak henti-hentinya menyuarakan perang terhadap Iran. Menurut
Avnery, Israel sesungguhnya sedang sok-sokan di depan AS, dan berkata, “Gue
serang Iran nih… Ayo, coba tahan gue, gue serang nih, sekarang!”
Dalam analisis Avnery, Israel sama sekali tidak
mungkin menyerang Iran tanpa persetujuan AS karena memang secara militer,
Israel yang disebut-sebut sebagai ‘kekuatan militer terbesar di Timur Tengah’
sangat bergantung pada suplai dari AS. Dengan sederhana, Avnery berupaya
‘menjelaskan’ kepada orang-orang Israel bahwa Iran punya kekuasaan atas sebuah
selat ‘sempit’, yaitu Selat Hormuz, yang lebarnya 35 km. Jarak itu sama jauhnya
dari Gaza ke Beer Sheva, yang ternyata bisa ‘dilalui’ dengan mudah oleh roket
sederhana milik pejuang Palestina.
Begitu pesawat Israel memasuki wilayah udara Iran,
selat Hormuz akan segera ditutup dan angkatan laut Iran punya sangat banyak
kapal pengangkut rudal untuk menjaga selat itu, jelas Avnery. Belum lagi,
penutupan selat Hormuz artinya menghalangi sepertiga suplai minyak dunia dan
akan menimbulkan kekacauan ekonomi yang sangat besar di dunia. Dan untuk
membuka paksa selat itu, dibutuhkan operasi militer yang sangat mahal; yang
akan sangat berat ditanggung oleh AS dan NATO; apalagi oleh Israel. Avnery
bahkan menambahkan bahwa bila perang terjadi, “Rudal pun akan menghujani
Israel, tidak hanya dari Iran, tetapi juga dari Hizbullah dan mungkin Hamas.
Kita tidak punya kekuatan yang cukup untuk mempertahankan kota-kota kita.”
Namun, ancaman Israel untuk menyerang Iran sudah
cukup untuk membuat pemerintah AS kalang-kabut dan mengirim misi untuk
membujuk ‘ sang adik’. Komandan Staff Gabungan Militer AS, Gen. Dempsey bahkan
menyebut Iran sebagai ‘aktor rasional’, untuk menenangkan Israel agar tidak
menyerang Iran (baca tulisan saya sebelumnya).
Lalu, untuk apa Israel sesumbar akan menyerang Iran?
Selain untuk menekan AS agar mau menuruti berbagai kehendak Israel, ternyata
juga untuk konsumsi politik dalam negeri. Kondisi ekonomi Israel semakin buruk
dan memicu demo-demo besar-besaran anti pemerintah. Tidak ada yang lebih mudah
untuk mengalihkan perhatian warga dari masalah ekonomi selain adanya ancaman
perang. Karena itulah ‘ancaman Iran’ sangat laku dijual. Iran terus-menerus
disebut sebagai pembuat bom nuklir yang akan digunakan untuk menghancurkan
Israel. Ucapan legendaris Ahmadinejad, “Israel harus dihapus dari muka bumi”
adalah mantra yang sangat mempan untuk menimbulkan rasa takut di tengah warga.
Itulah sebabnya Avnery dengan sarkasme menutup tulisannya, “Untung ada
Ahmadinejad, kalau tidak apa jadinya kita hari ini?”
Sebenarnya, seperti apakah kekacauan ekonomi di
Israel? Bukankah berbagai media menyebut Israel sebagai salah satu negara
dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia? Gilad Atzmon, dalam artikelnya
“Israel Economy For Beginners” menjelaskan hal ini. Atzmon mengajukan dengan
pertanyaan kritis, “Dari mana Israel memperoleh kekayaannya?”
“Bukankah selain alpukat dan jeruk, kita tidak
menjumpai produk Israel?” tulis Atzmon. Israel tidak memproduksi mobil, alat
elektronik, dan sangat sedikit membuat barang-barang konsumsi lainnya. Dengan
sarkasme, Atzmon menulis, “Di tanah yang mereka rampok dari bangsa asli
Palestina, mereka juga tidak menemukan mineral berharga atau minyak.”
Jadi, darimana datangnya kekayaan Israel? Atzmon
menyodorkan faka-fakta –dan kebanyakan dari kita sebenarnya sudah tahu—bahwa
Israel mendapatkan ‘sedekah’ dari orang-orang kaya Yahudi di seluruh dunia.
Dalam artikel lain di Haaretz (koran Israel), disebutkan bahwa ada istilah
Ibrani yang menjadi standar nilai moral di kalangan Yahudi, yaitu ‘tzedakah’.
Haaretz mengutip seorang peneliti yang menyebutkan bahwa orang-orang kaya Yahudi
memiliki keterikatan kekeluargaan yang sangat erat dan menjadikan ‘tzedakah’
sebagai sebuah kewajiban moral.
“Enam dari tujuh konglomerat yang menguasai 50%
ekonomi Rusia tahun 1990-an adalah orang Yahudi,” tulis Atzmon, dan banyak
pengusaha Yahudi Rusia yang juga memiliki paspor Israel. Tentu saja, sudah
banyak diketahui, kebanyakan konglomerat AS juga orang Yahudi. Dalam
artikel di Haaretz itu juga dipaparkan betapa berbagai organisasi sosial,
sekolah, dan universitas di Israel sangat menggantungkan diri dari tzedakah.
Selain itu, Israel meraup keuntungan besar dari
bisnis pencucian uang. Israel merupakan surga untuk mencuci uang haram yang
dilakukan mafia-mafia dan pengusaha kotor. Israel juga mendapatkan uang dari
industri berlian. Israel mengimpor berlian mentah dari negara-negara miskin
Afrika lalu mengolahnya menjadi perhiasan dan mengekspornya ke berbagai
negara dunia. Mengingat bahwa penambangan berlian banyak mengorbankan rakyat
miskin di Afrika, dan bahwa berlian menjadi salah satu pilar utama ekonomi
Israel yang merupakan penjajah Palestina, maka berlian produksi Israel sering
disebut sebagai ‘blood diamond’ (berlian berdarah).
Parahnya, di pasar, konsumen tidak bisa mendeteksi,
mana ‘berlian berdarah’ produk Israel, mana berlian produk negara lain. Tak
heran bila LSM-LSM pro-boikot produk Israel menyuarakan protes terkait tidak
bisa terdeteksinya negara asal produksi berlian.
Israel juga mendapat uang dari penjualan alat-alat
militer (dan sayangnya, Indonesia termasuk pembelinya!), bahkan dari penjualan
organ tubuh manusia. Pendek kata, Israel memiliki perekonomian yang maju karena
melakukan aktivitas ekonomi yang sangat kotor.
Dan, berita buruknya (atau baiknya?), orang-orang
Yahudi kasta rendah di Israel sama sekali tidak menikmati kekayaan itu.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Israel pada saat yang sama justru disertai
dengan ketidakadilan sosial. Di Israel, ada 18 keluarga yang mengontrol 60%
perusahaan. “Jurang antara si kaya dan si miskin di Israel sangat besar,” tulis
Atzmon.
Menariknya, kejahatan yang dilakukan oleh
orang-orang kaya Zionis di berbagai penjuru dunia lewat aktivitas ekonomi
kotornya, membuat Atzmon menyimpulkan, “Kita semua ini adalah bangsa Palestina
dan kita memiliki satu musuh yang sama.”
Komentar Blogger :