Selasa, 08 Mei 2012

Embargo Minyak Iran: Sebuah Dilema Para Langganan


Embargo bisa diartikan sebagai perwujudan pelarangan perniagaan ataupun bentuk kegiatan perdagangan lainnya dengan sebuah negara, pada sebuah negara dan oleh sebuah negara. Sesungguhnya embargo itu sendiri sejatinya adalah embargo ekonomi, meskipun barang yang dilarang itu bukan berupa barang komersil, namun tetap saja imbas embargo tersebut akan sampai kepada terganggunya perekonomian negara yang diembargo tersebut.
Embargo pada hakikatnya adalah sebuah hukuman politik yang dijatuhkan kepada sebuah negara karena melakukan pelanggaran terhadap sebuah kebijakan atau aturan yang sebelumnya telah disepakati bersama oleh beberapa negara termasuk negara yang melanggarnya, termasuk isu kejahatan ataupun pelanggaran HAM di dalam negara tersebut.

Dalam tulisan ini saya mencoba menguraikan salah satu contoh kasus embargo yang dialami Iran sejak tahun 1980 oleh Amerika Serikat.
Berawal satu tahun sebelumnya, dari situasi politik dan sosial yang tengah mengalami krisis saat itu dimana di Teheran khususnya, kekacauan terjadi di seantero kota, termasuk peristiwa penyanderaan beberapa warga asing di kedutaan besar besar Amerika Serikat. Kekacauan terjadi karena masyarakat Iran sudah jengah dengan pemerintahan Shah Reza Pahlevi yang selama ini dipandang terlalu dekat dan selalu menuruti dikte Amerika Serikat. Revolusi tahun 1979 tersebut dipimpin oleh Ayatullah Khomeni.
Revolusi tersebut dianggap sebagai revolusi terbesar ketiga dalam sejarah setelah revolusi Bolshevik dan Prancis, karena dipandang sangat hebat. Bagaimana sebuah gerakkan rakyat bisa menumbangkan dinasti monarki yang juga tentu saja didukung penuh oleh Amerika Serikat selaku rekan dekat Shah Reza. Kemudian muncullah Ayatullah Khomeni sebagai penguasa baru dan mendeklarasikan Iran sebagai Republik Islam yang baru.
Disinilah kemarahan Amerika muncul, mereka menganggap berdirinya Republik Islam Iran sebagai ancaman yang berpotensi akan mengacaukan hegemon mereka, apalagi rezim yang tumbang tersebut merupakan sekutu yang pernah dekat.
Setahun paska revolusi dimulai lah berbagai embargo untuk mengisolasi Iran yang pada akhirnya akan melemahkan perekonomian Iran bersama rezim barunya. Sampai situasi terakhir, embargo Iran mencakup embargo persenjataan, militer, investasi, perbankan, asuransi dan transaksi keuangan lainnya semisal ekspor dan import, juga yang terakhir tentu saja segala sumber daya energi mereka seperti gas alam, minyak bumi dan lain-lain.
Tentu saja, berbicara mengenai embargo Iran, akan sangat terasa seperti pepesan kosong jika hanya berbicara embargo mereka belasan atau puluhan tahun lalu, tanpa membicarakan embargo Iran sekarang ini.
Isu nuklir Iran memang sudah lama menjadi buah bibir di kalangan masyarakat internasional. Amerika Serikat terutama bersikeras agar Iran berhenti membangun proyek instalasi nuklirnya karena khawatir akan menggunakannya sebagai senjata, meskipun Mahmoud Ahmadinejad juga tetap mengutarakan bahwa proyek nuklirnya hanya digunakan sebagai tujuan damai dan sebatas kepentingan sumber energi sehari-hari bagi rakyatnya.
Namun pihak Amerika Serikat tetap tidak menerima itu, dan pada awal tahun 2012, Amerika Serikat mengultimatum Iran dan mengancam akan menjatuhkan sanksi berupa embargo [lagi] namun kali ini akan lebih ketat karena akan melibatkan banyak negara. Dan disaat yang hampir bersamaan, Amerika Serikat berhasil mengajak Uni Eropa untuk ikut mengembargo ekspor minyak dan sumber daya Iran lainnya yang pelaksanaannya jatuh per 1 Juli 2012.
Selain itu rupanya, agar sanksi terhadap Iran memberikan efek jera, Uni Eropa berinisiatif untuk membekukan semua aset Bank Sentral Iran yang ada di Eropa tanpa kecuali. Itu juga termasuk melakukan penghentian perdagangan emas, perak dan berbagai logam mulia lainnya.
Tentunya tidak cukup dengan Uni Eropa saja, agar sanksi nya dirasa efektif, Amerika Serikat gencar mengajak para negara besar Asia seperti Jepang, Korea Selatan, China dan India agar turut melakukan embargo minyak Iran. Namun ajakan tersebut bukannya tanpa hambatan, Keempatnya merupakan negara pengimpor minyak Iran terbesar di Asia. China setiap hari nya mengimpor sekitar 420.000 barel, India 400.000 barel, Jepang 315.000 barel sedangkan Korea Selatan 240.000 barel. Meskipun beberapa pemimpin Jepang dan China telah mengiyakan ajakan Amerika Serikat, namun sebagai pemimpin berintegritas tinggi, mereka harus lebih mementingkan kebutuhan rakyatnya, apalagi minyak yang merupakan kebutuhan primer.
Sebagai contoh, Korea Selatan belum bisa menyetujui secara penuh ajakan sanksi terhadap Iran, karena tengah mengerjakan sebuah proyek pembangunan pipa penyaluran minyak dari Iran utara ke Iran selatan yang bertujuan untuk memudahkan pengiriman minyak dari Iran, sedangkan India sudah jelas menolak mengikuti ajakan Amerika Serikat karena memiliki hutang nyaris 10 Miliar dollar AS atas pembelian minyak Iran.
Lagipula embargo terhadap Iran selama puluhan tahun oleh beberapa negara terutama Amerika Serikat tidak menghantarkan Iran kedalam situasi buruk yang diinginkan mereka dan sekutunya. Sebaliknya Iran terus tumbuh sebagai salah satu negara mandiri yang selalu dapat mengembangkan teknologi serta sumber daya yang dimiliki secara mantap. Malahan, ditengah ancaman sanksi minyak Iran sekarang ini, Iran bisa leluasa menjual minyaknya ke negara langganan lainnya dengan inovasi terbaru, semacam potongan harga atau bahkan secara kredit ringan, dan itu akan semakin menjadikan minyak asal Iran semakin laris. Mungkin dalam jangka pendek, embargo ini akan berpengaruh, namun tidak dalam jangka panjang beberapa tahun kedepan.