Sabtu, 09 Juli 2011

Jejak dan Pengaruh Asing di Indonesia

Masih ingat dengan salah seorang tokoh penemu bahan bakar hidrofuel yang memanfaatkan pohon jarak sebagai energi alternatif yang bisa menghemat sekian banyaknya dibanding pemakaian bahan bakar minyak? Sepintas dalam logika kita, mengapa kini gaung penemuan besar tersebut tak terdengar lagi bahkan terkesan mati begitu saja? Padahal ketika itu presiden sempat mencetuskan proyek besar ini sebagai salah satu proyek nasional dengan mengucurkan dana yang tidak kecil. Namun setali tiga uang, proyek ini pun hilang tak jelas beserta dana yang diasumsikan mencapai bilangan miliaran.

Padahal proyek ini amat berpotensi akan menghemat dana APBN senilai triliunan rupiah setiap tahunnya. Dan bisa dialokasikan untuk anggaran lain yang dianggap urgent bagi rakyat Indonesia, semisal kesehatan, pendidikan dan pembangunan infrastruktur lainnya. Sekaligus pengurangan gas emisi yang biasanya dihasilkan oleh bahan bakar minyak biasa.
Disamping itu nyatanya sang penemu energi alternatif tersebut, Joko akhirnya malah dikriminalisasi oleh sejumlah media massa dalam negeri. Ujung dari penemuan itu hanya menyisakan seorang Joko yang kini menjadi pesakitan atas kriminalisasi proyek penemuan hodrofuel nya. Tentu karena ini tidak terlepas dari peran media yang hampir sebagian besar dikuasai birokrat-birokrat Indonesia, sekaligus kepanjangan tangan asing di negeri ini.
Sesungguhnya indikasi tercemarnya birokrasi beserta pejabat publik dalam negeri oleh campur tangan asing sudah lama tercium dan terkuak khususnya oleh lembaga-lembaga ataupun peneliti-peneliti independen. Bahkan banyak juga sinyalemen pemerintah kita sudah bukan pemerintah Indonesia yang memiliki tujuan sesuai dengan pembukaan UUD 1945 diantaranya menyelenggarakan kesejahteraan umum. Namun tidak lain hanya pemerintahan boneka hasil sistem yang bernama demokrasi yang begitu mengagunkan kebebasan dan persamaan.
Pada akhirnya kebebasan inilah yang membawa Indonesia masuk kedalam era yang tak kalah gelap dibandingkan masa kolonialisme dulu. Ya, negara ini tidak ubahnya seperti koloni asing yang memanfaatkan sumber daya alam Indonesia dan membiarkan asing menguasai nyaris sebagian besar aset milik rakyat negeri ini.
Dalam sisi politis, jika kita melihat bagaimana awal infiltrasi asing masuk ke dalam negeri, peran CIA yang cukup penting nyaris tidak terekspos media. Bahkan menurut salah satu pembahasan majalah Sabili, didalamnya pernah disebut seorang budayawan dan wartawan terkemuka, Goenawan Muhammad terindikasi kabar dia adalah seorang agen utama CIA di Indonesia. Selain itu dalam tabloid Inteligen tentang kiprah yayasan Tifa pimpinan Suciwati yang tidak lain adalah istri pimpinan Kontras, alm. Munir. Disitu disebut bahwa yayasan itu merupakan kepanjangan tangan dari George Soros, serta isu yang tidak kalah cukup menarik adalah indikasi Dino Patti Djalal yang merupakan agen asing karena pernah melindungi laboratorium milik Amerika yang pernah menjadi kontroversi beberapa tahun lalu, NAMRU 2. Dan sekarang tengah menduduki jabatan duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat.
Dalam kenyataannya lihatlah susunan pejabat tinggi negara di era kabinet Indonesia Bersatu jilid 2. Wakil presiden kita yang terhormat, Budiono nyatanya adalah seorang agen neoliberalisme dan mafia berkeley antek Amerika atau tepatnya seorang keledai yang dicocok hidung oleh Yahudi. Mengapa saya katakan Yahudi? Karena Amerika yang sekarang (mungkin dari dulu) bukan Amerika sejati, namun tidak lebih dari kuda tunggangan Yahudi.
Kembali ke dalam negeri, indikasi ini pernah diungkap mantan perwira tinggi TNI, Jendral Ryamizard Ryacudu bahwa di negeri ini ada puluhan ribu agen-agen asing yang terdiri dari mulai rakyat biasa, LSM-LSM yang berkedok sebagai lembaga independen, sampai tingkat birokrasi yang dipercaya kebal akan jangkauan hukum.
Ada pula Sri Mulyani yang sudah banyak dikenal seperti Budiono sebagai kepanjangan tangan kepentingan Amerika. Dengan menduduki jabatan paling strategis terkait kepentingan asing, dengan mudahnya agen lain pun menjalankan misi dan tujuannya. Tujuan utama agen-agen asing ini tentu saja sama dengan agenda asing (Amerika khususnya) yang tidak ingin Indonesia, negara yang luas, kaya dengan sumber daya alam, dan jumlah penduduk yang melimpah, akan tumbuh menjadi kekuatan baru dunia yang bisa menyaingi bahkan mengalahkan supremasi mereka selama ini. Seperti China yang nyaris tidak tersentuh gaung demokrasi dan tetap konsisten dengan sistem komunisme dan totalitariannya yang akhirnya muncul sebagai poros kekuatan baru dunia.
Dalam perkembangannya, analisis menyangkut keberadaan agen-agen asing di Indonesia bisa ditelusuri menggunakan beberapa indikator, diantaranya : 1. Pembangunan infrastruktur yang sungguh tertinggal, 2. Ketergantungan kepada pinjaman asing, 3. Pengelolaan APBN yang amat boros dan tidak efektif, 4. Pelemahan TNI dan KPK. Juga ada indikator lainnya seperti terpecah belahnya umat Islam sebagai agama mayoritas, perpecahan ormas dan parpol yang selalu meributkan hal-hal sepele yang sebetulnya sebagai korban adu domba aktor intelektual di belakangnya. Lalu merebaknya pornografi dan homonisasi atau kampanye terselubung homoseksual di media massa.
Indikator pertama, yakni terkait infrastruktur yang tertinggal dan jauh dari kondisi ideal untuk menunjang pembangunan nasional. Contoh, jangankan di Papua, Maluku, Sulawesi atau Nusa Tenggara. Ruas-ruas jalan provinsi di pulau Jawa saja yang ditempati lebih dari 40% penduduk Indonesia, sudah sangat mengkhawatirkan keadaannya. Padahal sisi transportasi, termasuk kualitas ruas jalan termasuk hal yang paling vital dalam proses sebuah pembangunan. Inilah buah strategi pembangunan pemerintah yang sangat salah kaprah dan mengabaikan kepentingan pembangunan daerah sebagai akar pembangunan nasional.
Ketergantungan bahkan “kecanduan” hutang asing adalah benalu yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan Indonesia. Karena sumber pendapatan APBN terbesar, yakni sektor pajak yang seharusnya bersih untuk kepentingan pembangunan, separuhnya harus dialokasikan untuk membayar cicilan hutang. Dan rata-rata setiap tahunnya pemerintah menganggarkan 10% APBN, yakni kurang lebih 100 triliun rupiah untuk membayar cicilan dan bunga hutang, hanya bunga nya saja! Karena jumlah hutang aslinya nyaris tidak pernah tersentuh pemerintah, bahkan cenderung semakin menjauh dari kemungkinan pelunasan. Ini tentunya akibat pemerintah yang telah tergantung dana dari asing tersebut, yang setiap tahun terus saja menengadahkan tangannya kepada lintah darat internasional. Menurut sebuah catatan dari kementrian keuangan, pertengahan tahun 2010 saja hutang Indonesia sudah berjumlah lebih dari 1600 triliun! Fantastis. Melebihi rata-rata jumlah APBN tahunan yang mencapai 1000 triliun. Mungkin jumlah tersebut bisa lunas sepenuhnya dalam jangka 2 tahun, dengan catatan, dalam jangka waktu tersebut lebih dari 200 juta jiwa rakyat Indonesia tidak akan makan. Ironisnya, beberapa waktu lalu SBY pernah berkoar bahwa Indonesia telah menyelesaikan hutang IMF, namun ternyata secara diam-diam dia malah menambah hutang sebesar $10 miliar setahun.
Salah satu strategi agen asing untuk mengkacau-balaukan pembangunan perekonomian Indonesia adalah menyusun APBN yang boros dan tidak efektif. Lihat saja, pemerintah malah lebih memprioritaskan pembangunan jembatan Suramadu yang terhitung kurang strategis dibanding mengutamakan pembangunan jembatan Selat Sunda yang menghubungkan Jawa-Sumatera yang dipastikan memiliki nilai dan manfaat jauh lebih ekonomis dibanding dengan akses yang “hanya” menghubungkan pulau Jawa dengan sebuah pulau kecil bernama Madura. Kita juga sama-sama bisa menyaksikan betapa nilai keadilan tatanan birokrasi telah dirusak dengan anggaran untuk para anggota DPR yang terlampau tinggi. Bahkan ketika Indonesia tengah kerap dilanda bencana, para wakil rakyat yang katanya terhormat itu malah asyik menggunakan uang rakyat untuk pelesiran dan jalan-jalan ke luar negeri dengan modus lama, studi banding yang ternyata hanya bualan-bualan tikus-tikus berdasi. Belum cukup mereka melukai hati rakyat dengan tingkah seperti itu, dengan serakah mereka malah menginginkan gedung baru sebagai sarang tikus baru. Padahal gedung lama DPR masih layak dipakai. Sama sekali sikap merakyat tidak nampak dari tingkah polah mereka selama ini.
Kemudian terkait pelemahan institusi, TNI selain sebagai alat fungsional negara, juga adalah simbol penting kesatuan Indonesia. Nah, strategi paling ampuh untuk melemahkan Indonesia, ya melemahkan TNI nya pula. Oleh karena itulah sales promotion girl IMF yang kini “kabur” ke dunia International, Sri Mulyani ketika masih menjabat menteri keuangan, malah memotong anggaran negara untuk TNI, dan disaat bersamaan malah menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk para kriminal dan mafia Bank Century yang mayoritas sahamnya dimiliki pihak asing. Dengan sikap tersebut, secara tidak langsung dia mendeklarasikan sebagai agen resmi asing. Tidak heran, sebagai salah satu orang yang paling bertanggung jawab kecanduan hutang asing, dalam setiap pinjaman dana yang dilakukan Indonesia, Sri Mulyani mendapat fee sebesar 1% dari jumlah pinjaman. Kalau menteri keuangannya saja mendapat fee 1%, bagaimana dengan presidennya?
Di sisi lain KPK kenyataannya adalah salah satu institusi yang secara signifikan dan konsisten bisa menurunkan dan mengurangi budaya korupsi di tingkat birokrasi Indonesia. Kapabilitas KPK dalam membasmi korupsi tanpa pandang bulu amat mendapat perhatian dan apresiasi masyarakat yang ingin melenyapkan korupsi di jajaran pemerintahan. Namun kenyataannya kita bisa melihat skenario pelemahan KPK beberapa tahun yang lalu, diantaranya melalui kriminalisasi kewenangan pemimpin KPK, sudah tentu saja ini atas restu sang Presiden. Saya berani mengatakan atas restu presiden karena sebetulnya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, presiden bisa mencegahnya, namun dia malah membiarkan kriminalisasi itu terus bergulir sementara pemimpin KPK terus diperkarakan oleh penyidik kepolisian.
Korupsi yang sungguh telah membudaya adalah ladang subur dan potensial bagi kepentingan asing untuk terus menancapkan pengaruh dan kekuasaannya. Dengan lemahnya institusi pemberantas korupsi seperti KPK, maka dipastikan budaya korupsi di kalangan birokrat Indonesia akan semakin menjadi-jadi. Otomatis dengan hal tersebut pihak asing akan sangat mudah untuk menjadikan oknum-oknum birokrat tersebut menjadi sasaran perekrutan agen-agen berikutnya.
Untuk menilai seberapa munafiknya pemerintahan Indonesia yang berkhianat terhadap rakyat Indonesia cukup mudah. Selain beberapa indikator diatas, melihat keengganan presiden untuk membiayai segala macam proyek-proyek potensial asli karya anak bangsa saja sudah menjadi indikator presiden Indonesia adalah boneka pihak asing yang tidak menginginkan Indonesia tumbuh menjadi kekuatan baru dunia seperti Cina dan India baru-baru ini.