Minggu, 03 Juli 2011

Konsep Deterrence

        Deterrence secara harfiah berarti penolakan atau pencegahan. Tentu dalam hal yang akan dibahas ini deterrence sebagai suatu konsep strategi untuk mencegah terjadinya kontak militer, atau secara kasarnya mencegah terjadinya perang. Dengan konsep deterrence, pencegahan perang dilakukan dengan cara “menciutkan hati” negara lain yang dianggap sebagai lawan yang berpotensi akan menyerang.
         Dalam deterrence, negara yang berusaha menciutkan hati lawannya disebut negara defender. Biasanya para defender memiliki tujuan untuk mencoba meyakinkan negara yang berpotensi mengancam tersebut bahwa kerugian yang ditimbulkan bila kelak perang terjadi akan besar sekali, bahkan melebihi keuntungan yang diharapkan sebelumnya. Kemudian biasanya langkah terakhir proses ini sang defender mengancam akan membalas serangan sang inisiator serangan dengan serangan secara militer.
Ancaman dilakukan untuk memperkuat jaminan bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dengan itu, para defender tidak akan terlalu terlihat sebagai pihak yang “penakut”, karena memiliki komitmen untuk membalas atau menghukum sebagai pengokoh harga diri suatu negara. Hal ini pun dalam rangka mendemonstrasikan Credibility of the Deterrence.
        Secara luas, deteerence dikenal sebagai situasi dimana salah satu pihak mencoba untuk mencegah pihak lain untuk melakukan  tindakan yang belum dilakukan. Dan konsep deterrence paling banyak terjadi adalah konsep pengembangan kekuatan nuklir oleh suatu negara, dalam hal ini Iran sebagai negara yang “ditakuti” Amerika beserta sekutunya terkait proyek nuklirisasi yang dimiliki.
     Para ahli strategi mengidentifikasikan 4 macam deterrence. Dua jenis pertama yaitu General dan Immediate deterrence, dilandasi dengan kerangka strategi dan waktu. General deterrence adalah strategi jangka panjang yang ditujukan untuk “menciutkan hati dengan pertimbangan yang serius terhadap segala bentuk ancaman kepentingan negara lain”. Jenis ini terus berjalan setiap saat dan berkelanjutan, karena bertujuan berusaha untuk mencegah negara lain yang (dianggap) mencoba menyerang dengan cara militer karena konsekuensi yang dimiliki.
        Sedangkan Immediate deterrence, sebaliknya adalah tanggapan yang jelas dan tegas terhadap ancaman atas kepentingan seuatu negara. Immediate deterrence terjadi ketika general deterrence dianggap gagal menalankan fungsinya sebagai pencegah, karena itu langkah immediate deterrence diambil meskipun serangan telah terjadi, namun deterrence jenis ini berusaha meyakinkan aggressor untuk menghentikan serangannya.
       Dua jenis deterrence selanjutnya berhubungan dengan lingkup geografis (geopolitik) dari strategi yang dimaksud. Primary deterrence biasanya dikeluarkan oleh negara pihak ketiga yang “kebetulan” berada satu wilayah dengan negara defender, karena khawatir dampaknya akan meluas terhadap negara pihak ketiga. Untuk itulah jalan primary deterrence diambil agar sang aggressor diminta untuk tidak menyerang negara lain di dekatnya, terlepas itu sekutu ataupun lawan.
        Lalu terakhir ada extended deterrence adalah konsep yang lebih mempertimbangan posisi sekutu atau aliansi sebagai elemen penting kekuatan suatu negara. Masih dalam pihak ketiga, yakni berusaha “menciutkan hati” negara lain untuk tidak menyerang partner/aliansi/sekutu suatu negara.
Terdapat tiga syarat atau kondisi yang harus dipenuhi dalam konsep deterrence :
  • Commitment, merupakan langkah pertama dalam pelaksanaan deterrence, defending state harus memiliki komitmen untuk membalas aggressor atau challenger ketika melakukan tindakan. Dalam kata lain defender harus membuat batas dan memperingatkan aggressor bahwa dia akan ‘menderita’ bila melewati atau melintasi batas tersebut. Komitmen tersebut harus jelas, tidak ambigu dan harus dinyatakan sebelum aggressor melakukan agresi. Komitmen yang ambigu dapat mendatangkan kerugian dari kepentingan aggressor dalam percobaan pemecahaan pertahanan. Deterrence seringkali gagal karena defender tidak menunjukkan dengan baik komitmen untuk membalas atau gagal dalam menetapkan tindakan pembalasan yang tepat dalam suatu kasus penyerangan.
  • Capability, komitmen yang jelas tidak akan berguna apabila negara tidak mempunyai cara atau sarana untuk menunjukkannya, ketika deterrence berputar sekitar menyakinkan aggressor bahwa kerugian dari tindakan tidak sebanding dengan keuntungannya, defender harus menyakinkan pula bahwa dia juga memiliki kemampuan untuk membalas. Sekalipun bila kemampuan deterrent negara lemah, dia tetap mencoba meyakinkan bahwa kemampuan untuk membalas yang dimiliki lebih kuat.
  • Credibility, suatu negara harus menyakinkan aggressor tentang keputusan dan keinginannya untuk menunjukkan komitmennya untuk menghukum atau membalas. Walaupun defender telah menyatakan komitmen dan menunjukkan kemampuannya untuk membalas, deterrence masih mungkin mengalami kegagalan jika aggressor meragukan keinginan defender mengambil resiko perang.
Jelasnya, komitmen untuk membalas harus persuasive supaya tidak terdengar “gertak sambal”. Pada bagian lain keberhasilan defender bergantung pada reputasi perilaku dan image suatu negara. Singkatnya, deterrence dapat mengalami kegagalan karena aggresor meragukan komitmen, kemampuan dan kredibilitas defender untuk membalas aggressor. Bagaimanapun, teori deterrence mengakui bahwa, defender harus dengan jelas menunjukkan komitmen serta kredibilitasnya untuk mempertahankan kepentingan negaranya, di sisi lain aggressor harus mengkalkulasikan juga keuntungan atau kerugian dari pembalasan (punishment), dalam hal ini masih sangat rational bagi aggressor untuk menyerang.