Jumat, 15 Juli 2011

Ashkenazi dan Sephardin dengan Perang Dunia I

Artikel ini adalah kelanjutan artikel sebelumnya yang berjudul “Dialektika Yahudi Ashkenazi dan Yahudi Sephardin. Bila pada artikel tersebut diceritakan bagimana awalnya kedua sub-ras Yahudi tersebut muncul dan saling bersaing secara intern namun bersatu padu dalam menghadapi kaum non-Yahudi atau mereka sebut goyim, di artikel ini akan dibahas bagimana implementasi persaingan tersebut sekaligus usaha menguasai kaum goyim dengan menciptakan Perang Dunia I & II.
Dalam detik-detik kekalahan Napoleon Bonaparte dalam Perang Waterloo yang mengakhiri ketangguhannya, pada tahun 1815, sebelum keluarga Rothschild muncul sebagai keluarga paling kaya di dunia sekaligus paling berpengaruh, terjadi perjanjian Vienna. Perjanjian tersebut berisi rencana-rencana pembagian wilayah Eropa beserta seluruh masyarakat di dalamnya untuk para negara pemenang perang. Tentu saja perjanjian tersebut menghasilkan banyak kontroversi dan berujung pada pergolakan, peperangan kembali dan kelaparan secara luas di Eropa.
Setidaknya butuh waktu tidak sebentar bagi Eropa untuk menstabilkan kembali baik secara sosial maupun politik. Karena itulah akhirnya beberapa negara besar menyadari hal ini. Jerman mulai mengkonsolidasikan diri, Italia pun bersatu padu menjadi negara republik. Di jerman sendiri, indutsrialisasi bangkit menjadi media untuk turut menstabilkan Eropa umumnya. Begitu pula keluarga Rothschild yang ikut mendapatkan keuntungan dengan menanam saham dan investasi-investasi di beberapa perusahaan industri Jerman dan Austria-Hungaria. Lalu selain dasarnya di bidang perbankan, keluarga Rothschild juga mulai menguasai industri pertambangan, besi, batubara dan transportasi. Demikian pesatnya perkembangan ekonomi Jerman, pemerintah Jerman pun merasa harus memperluas wilayahnya lagi sehubungan lahan yang semakin terasa sempit akibat industrialisasi tersebut.
Di sisi lain, orang-orang Sephardin yang bercokol di Inggris dan Belanda menguasai pula sektor-sektor perusahan industri vital disana, yang ditandai dengan revolusi Industri. Namun Inggris cenderung lebih mengutamakan perdagangan laut yang telah berlangsung ratusan tahun sebelumnya, dan juga cabang-cabang perusahaan dagangya sampai ke Indonesia kala itu, yakni East India Company. Supremasi jalur perdagangan laut Inggris saat itu tidak diragukan sangat mendominasi, yang menjadikan tumpukan kekayaan orang Sephardin juga turut melonjak.
Dengan hal itu maka dimulailah persaingan ekonomi diantara raksasa Eropa saat itu. Meskipun secara umum masyarakat melihat persaingan ini adalah antara Inggris melawan Jerman. Namun persaingan ini sesungguhnya tidak lebih dari persaingan diantara Yahudi Sephardin dan Ashkenazi. Tentu mereka mengerahkan segenap sumber daya dan potensi ekonomis dari rakyat masing-masing negara.
Menyadari sulitnya menyaingi armada laut perdangangan Inggris, akhirnya Jerman mencari alternatif lain untuk mengalahkan perekonomian Inggris. Maka munculah ide pembangunan jalur kereta Berlin-Baghdad. Jerman mulai membidik pasar Asia yang memiliki sumber daya alam melimpah dan padat penduduknya tanpa harus bertempur dengan Inggris. Jalur ini direncanakan mulai dari Berlin, melalui Austria-Hungaria, semenanjung Balkan, Turki dan berakhir di Irak, tepatnya di Baghdad. Tentu saja selain mengamankan tempat tujuan agar tetap dalam kontrol Jerman, maka wilayah-wilayah di sepanjang jalur kereta pun harus ada dalam naungan kekuasaan Jerman, baik secara fisik maupun politik. Maka munculah jargon “Pan Jerman Movement” atau “Deutschland Uber Alles”.
Namun potensi ancaman yang bakal direncanakan Jerman pun tercium kerajaan Slavia yang termasuk otoritas Rusia. Mereka beranggapan kekuasaan Jerman di Turki akan menutup akses Laut Hitam dari perairan internasional dan membuat kota-kota disekitarnya menjadi terisolir dari dunia luar.
Rusia yang dikenal sudah lama terlibat pergolakan dengan Yahudi, tentu tidak ingin Turki dikuasai oleh musuhnya itu. Seperti halnya Jerman, Rusia pun gencar menggalakan slogan “Pan Slavic Movement” di kawasan Balkan. Rusia berharap slogan tersebut dapat memunculkan semangat persatuan ras Slavia di daerah tersebut. Dan dengan mendahului Jerman, pada tahun 1877 Rusia menyerang Turki untuk mendudukinya, dengan target utama Selat Dardanella yang menghubungkan Eropa-Asia. Dengan perang yang disebut perang Krim tersebut Rusia berhasil menguasai Konstantinopel.
Mendengar hal ini, kaum Yahudi Sephardin di Inggris merasa perlu bersatu padu untuk menyerang Konstantinopel dan mengusir Rusia dari wilayah tersebut, karena saat itu wilayah Konstantinopel, tepatnya di Selat Dardanella merupakan wilayah yang cukup padat dilalui kapal laut dan sebagian besar adalah pelayaran perdagangan yang pastinya amat bernilai ekonomis di mata Inggris. Maka Perdana Menteri Inggris Saat itu, Benjamin Disraeli yang juga seorang Yahudi Sephardin memerintahkan segenap pasukan Inggris yang dibantu Perancis untuk menginvasi Konstantinopel, dan akhirnya Rusia pun berhasil diusir dari sana.
Menjelang Perang Dunia I, di awal abad-20, situasi global masih didominasi kepentingan-kepentingan Yahudi Sephardin dan Yahudi Ashkenazi, dengan posisi Turki dan Rusia ditengah-tengah. Seiring waktu, Yahudi Ashkenazi pun semakin kuat dengan tetap rencana membangun jalur kereta Berlin-Baghdad. Namun kali ini Yahudi Sephardin melalui Inggris dan Perancis berhasil menggandeng Rusia sebagai aliansi dan membentuk pakta Triple Entente yang beranggotakan ketiga negara. Tak ingin kalah, kaum Ashkenazi juga membentuk pakta tandingan bernama pakta Triple Alliance beranggotakan Jerman, Turki dan Austria-Hungaria.
Begitulah kondisi politik sebelum Perang Dunia I, dua aliansi yang terbentuk karena kepentingan Yahudi yang saling berhadapan dan bersiap untuk perang. Kelompok Triple Entente yang berjuang mengakomodasi kepentingan Yahudi Sephardin dan Kekaisaran Rusia, dan blok Triple Alliance yang membela kepentingan Yahudi Ashkenazi dengan proyek jalur kerta api Berlin-Baghdadnya.
Selain kekuatan militer, kaum Yahudi baik Ashkenazi maupun Sephardin menggunakan kekuatan pers dan media massa miliknya. Membuat seakan raja dan perdana menteri non-Yahudi tak lebih dari sekedar boneka yang tak berdaya untuk mencegah perang yang telah diskenariokan kedua jenis Yahudi ini. Mereka mencekoki rakyat masing-masing negara bahwa negara lawan mereka adalah negara jahat. Salah satu propagandis Yahudi asal inggris adalah Lord Northcliffe yang terus membisikan ambisi perang terhadpa rakyat Inggris dengan berkata “perang tidak bisa dielakkan lagi, meski para pemimpin dan diplomat berusaha mengelakkannya.”
Lalu sekitar akhir tahun 1910 saat pers di kedua belah aliansi bertubi-tubi berkoar tentang seruan perang, maka dua kepala negara yang sedang bersaing, yakni Kaisar Jerman, Wilhelm II dan Tsar Rusia, Nicholas II mengadakan pertemuan di Postdam, sebuah kota kecil di wilayah otoritas Jerman. Pertemuan bertujuan untuk mencegah ketegangan dan situasi panas diantara kedua negara berubah menjadi perang. Kemudian keduanya menemukan kesepakatan. Pertama, Jerman harus mengakui kekuasaan Rusia atas akses laut yang menghubungkan Laut Tengah dan Laut Hitam, yaitu Selat Dardanella di Turki. Dan sebaliknya, Rusia akan membiarkan Jerman meneruskan proyek rek kereta Berlin-Baghdad.
Hal ini sama ketika menjelang Perang Dunia II, saat itu Hitler, Mussolini dan Perdana Menteri Inggris, Chamberlain mengadakan pertemuan yang bertujuan agar mencegah perang terjadi. Namun upaya-upaya semacam itu akhirnya gagal dan perang tetap berkecamuk. Bahkan ada cerita tentang Hitler yang membiarkan pasukan Inggris yang terjebak di Dunkirk, Perancis melenggang begitu saja kembali ke Inggris dalam rangka membujuk Inggris agar menghentikan Perang Dunia II, namun perang tetap saja berjalan tanpa bisa dicegah.
Mengapa? Karena baik Yahudi Ashkenazi ataupun Sephardin tetap menginginkan perang berjalan seperti kehendak mereka. Bagi mereka perang yang terjadi adalah ladang  keuntungan tersendiri semisal hasil penjualan senjata, pinjaman dana keperluan perang, ataupun pinjaman dana untuk membangun kembali wilayah-wilayah yang hancur karena perang. Dalam rangka ini pula Yahudi mengirimkan Lenin ke Rusia untuk menunaikan tugas Revolusi Bolshevik yang mengobrak-abrik supremasi Tsar Nicholas II yang akhirnya dipenggal berkat konspirasi tingkat tinggi.
Lalu pada kurun waktu tersebut, berdasarkan kepentingan Yahudi Sephardin, jaringan intel Inggris dan Perancis membina intel-intel asal Serbia agar terlatih untuk menginfiltrasi Austria-Hungaria dan bertujuan untuk menciptakan kekacauan baik secara sosial, politik dan ekonomi. Dan terwujudnya hiper inflasi di negara itu nyatanya adalah manifestasi kerja intel-intel suruhan tersebut. Di dalam negeri sendiri, rakyat-rakyat Perancis terus dicuci otaknya dengan pemahaman bahwa orang-orang Jerman dan Austria adalah keturunan bangsa Hun yang pernah menginvasi serta membantai nenek moyang mereka di zaman kegelapan Eropa. 
Untuk mengobok-obok blok Triple Alliance dan memuluskan langkah menuju terjadinya peperangan, langkah selanjutnya, orang Sephardin menciptakan skenario pembunuhan figur besar di pihak Austria-Hungaria. Kali ini Yahudi Sephardin menggunakan jasa dua orang pelajar Yahudi yang sebelumnya ikut dalam pelatihan intel di Serbia untuk melaksanakan tindak pembunuhan. Adapaun korbannya yaitu Archduke Franz Ferdinand, seorang putra mahkota kerajaan Austria-Hungaria. Dia dibunuh di wilayah Serbia tanggal 28 Juni 1914. Serbia sendiri berlokasi diantara wilayah Rusia dan Austria-Hungaria yang sering menjadi konflik perebutan wilayah antara Austria-Hungaria dengan Rusia, namun karena kultur masyarakatnya yang beretnis Slavic, maka masyarakatnya cenderung dekat dengan Rusia. Disinilah sering kita menemukan dalam pelajaran Sejarah di sekolah tentang pemicu terjadinya Perang Dunia I, yakni terbunuhnya Franz Ferdinand tersebut, namun nyaris tidak pernah dijelaskan siapa dan motif apa yang melatarbelakangi pembunuhan tersebut. Setelah berhasil menjalankan misinya, kedua pembunuh Yahudi tersebut kemudian lari ke London untuk menerima sisa upah mereka, meninggalkan Serbia yang tidak tau apa-apa yang terancam.
Atas kejadian tersebut, maka pihak kerajaan Austria-Hungaria menyatakan perang terhadap Serbia. Lalu Rusia yang merupakan sekutu dekat Serbia juga memutuskan perang kepada Austria-Hungaria. Melihat hal ini, masing-masing rekan aliansi mereka, Inggris dan Perancis di pihak Triple Entente atas dasar kepentingan Yahudi Sephardin serta Jerman di pihak Triple Alliance atas dasar kepentingan Yahudi Ashkenazi memutuskan untuk ikut terlibat didalam perang.
Namun sekali lagi, dengan kesadaran tentang dampak yang muncul akibat peperangan, Kaisar Jerman, Wilhelm II mengirim telegram kepada Tsar Rusia, Nicholas II agar jangan dulu memulai peperangan. Tsar pun segera membalasnya dengan hal serupa. Begitupun diplomat dan pemimpin Inggris dan Perancis saling mengirim pesan agar tidak terlibat dalam perang. Namun ketika dua kubu Yahudi memtuskan perang tetap berlanjut dengan segala cara dan pengaruh mereka, maka tidak ada yang kuasa mencegah perang untuk tidak berlangsung. Maka pecahlah Perang terbesar pertama di dunia yang bertajuk World War I.
Pertengahan 1916 setelah dua tahun perang berkecamuk hebat, sudah tampak tanda-tanda kemenangan pihak Jerman serta Austria-Hungaria. Maka tiada jalan lain bagi Yahudi Sephardin untuk melirik dan menggandeng Amerika, dengan harapan Amerika bisa tampil sebagai penolong dan penyelamat pihak Sephardin dalam perang ini. Namun presiden Amerika saat itu, Woodrow Wilson dikenal sebagai pemimpin yang tidak menyukai perang, seperti salah satu slogan kampanye nya “He Kept Us Out of War!”. Dan secara geografis maupun politis, Amerika sama sekali tidak memiliki kepentingan terhadap perang tersebut, namun atas siasat tertentu yang dilancarkan kaum Sephardin, Amerika berhasil diseret ke medan perang.
Siasat yang mereka lakukan adalah dengan cara “memeras” Presiden Wilson. Mereka berhasil melobi salah satu penyandang dana kampanye Wilson sebagai media mengendalikannya, yang juga seorang pengacara, yakni Untermeyer. Suatu hari Untermeyer menginformasikan kepada Wilson bahwa salah satu kliennya, mantan istri seorang profesor yang pernah menjadi teman spesialnya presiden Wilson semasa kuliah di Princetown University, berniat akan menuntut presiden Wilson senilai $40.000. Karena beralasan bahwa gara-gara hubungan gelapnya dengan Wlilson, dia diceraikan oleh suaminya. Naas bagi wilson, Untermeyer membawa sepucuk surat cinta yang pernah ditulis presiden Wilson kepada kekasih gelapnya tersebut sebagai bukti untuk memperkuat tuntutannya.
Wilson kalangkabut, dia tidak memiliki uang sebesar itu untuk membayar tuntutan mantan kekasihnya tersebut. Untermeyer yang sebelumnya setia menjadi penyandang dana kampanye Wilson akhirnya bersedia menalangi dana yang cukup besar pada masa itu, namun dengan syarat yang diajukan, tentunya syarat ini hasil perintah Yahudi Sephardin yang kebelet ingin Amerika ikut dalam peperangan. Adapun syarat-syarat itu adalah, pertama Wilson harus menyetujui pengangkatan hakim agung baru, Louis Brandeis yang tentunya adalah seorang Yahudi. Kedua, seperti keinginan semula, Wilson harus menyetujui keterlibatan Amerika dalam Perang Dunia I.
Karena sayang karirnya yang sewaktu-waktu bisa berakhir akibat skandal itu, akhirnya Wilson menyetujui semua syarat yang diajukan. Sebagai alasan kuat keterlibatan Amerika ikut dalam medan perang, Amerika menebar isu peristiwa tenggelamnya kapal SS Sussex oleh kapal selam Jerman dan menambah laporan jumlah korban tewas awak kapal milik Amerika itu. Atas kabar itu, media massa Amerika segera mendesak agar Amerika ikut serta peperangan. Ditambah tekanan dari hakim agung Louis Brandeis yang menyimpan rahasia pribadi Wilson, maka Wilson mengusulkan kepada kongres agar mendeklarasikan perang terhadap Jerman. Atas persetujuan kongres, maka tanggal 6 April 1917 mengumumkan perang terhadap Jerman dan otomatis menerjunkan tentara-tentaranya masuk kedalam jurang Perang Dunia I yang sebetulnya tidak diinginkan sebagian besar rakyat Amerika.
Akhirnya karena keterlibatannya dalam kancah Perang Dunia I, Amerika harus membayar mahal dengan kehilangan lebih dari 115 ribu tentara mereka dan lebih dari 200 ribu lainnya cacat dan mengalami luka-luka yang serius. Namun dibandingkan dengan penderitaan rakyat Eropa, itu tidak seberapa. Karena rakyat Eropa harus menanggung tewasnya puluhan juta saudara, kerabat, teman-teman dan sahabat mereka. Bahkan ada satu hal mengejutkan, ketika salah satu komandan pasukan Amerika mendarat di Eropa, Jenderal Pershing beserta anak buahnya menemukan bahwa kapal SS Sussek masih dalam keadaan baik-baik saja dan masih bersandar di pelabuhan Jerman.
Di sisi lain, baik Yahudi Ashkenazi dan Sephardin justru mendapatkan keuntungan yang luar biasa atas terjadinya Perang Dunia I tersebut. Keuntungan berlipat-lipat mereka diantaranya berasal dari bunga hutang pinjaman dari negara-negara yang terlibat perang, bisnis senjata & amunisi, perlengkapan tentara, dll. Bahkan meskipun pembangunan rel kereta Berlin-Baghdad gagal, namun keuntungan mereka tetap berkucuran seiring situasi Eropa yang belum stabil.
Dan ketika Perang Dunia II mulai berkecamuk pada 1939, orang Ashkenazi dan Sephardin menemukan lawan yang lebih seimbang yakni Nazi Jerman. Karena itulah akhirnya mereka bersatu padu untuk menumbangkan Hitler dan pasukannya.
Setelah berpuluh-puluh tahun berlalu, disertai perkawinan silang dan percampuran antar Ashkenazi dan Sephardin, polarisasi keduanya tidak lagi nampak sebagai suatu perbedaan berarti bagi bangsa Yahudi.