Kekuatan politik lobi penting bukan karena dia mempengaruhi apa yang diutarakan oleh calon-calon presiden selama kampanye, tapi juga secara substantif lobi memiliki sebuah pengaruh yang cukup signifikan pada kebijakan luar negeri Amerika, terutama di Timur Tengah. Aksi-aksi Amerika di kawasan itu memiliki konsekuensi yang besar sekali terhadap bangsa-bangsa di seluruh dunia, terutama setiap bangsa yang tinggal disana.
Bila kita mengingat lagi perang yang sesungguhnya salah kaprah dalam konteks “war on terror” di Irak tahun 2003 yang dirancang rezim Bush, puluhan orang mati konyol, ratusan ribu terpaksa mengungsi untuk menyelamatkan diri, perang terus berjalan secara brutal dan keji tanpa tanda-tanda akan berakhir. Hal tersebut juga menjadi bencana strategis bagi Amerika karena telah menempatkan sekutu-sekutu Amerika ke dalam situasi yang berbahaya.
Cerita Amerika dengan Timur Tengah sesungguhnya telah dimulai pada masa-masa awal negara ini, dengan sebagian besar akivitas berpusat pada program-program pendidikan atau karya-karya misionaris. Bagi sebagian orang, pseona yang diilhami oleh berbagai literatur dalam kitab suci kristiani tentang Tanah Suci dan peran Yudaisme (ajaran Yahudi, pen) dalam sejarahnya membuat mereka tergerak untuk mendukung gagasan memulihkan keberadaan sebuah tanah air bagi bangsa Yahudi di sana, sebuah pandangan yang ketika itu dianut oleh sejumlah tokoh agama tertentu dan secara umum, oleh beberapa politisi Amerika.
Amerika telah memainkan senuah peranan penting dan terus meningkat dalam masalah-masalah keamanan Timur Tengah sejak Perang Dunia II, awalnya karena keberadaan minyak, selanjutnya oleh antikomunisme dan, sejalan dengan waktu, oleh hubungan yang tumbuh kian mesra dengan Israel.
Keterlibatan pertama yang siginifkan dalam politik keamanan kawasan itu adalah pertemanan barunya dengan Arab Saudi di pertengahan 1940-an (dimana oleh kedua pihak dimaksudkan sebagai upaya membendung pengaruh Inggris di kawasan itu), sedangkan komitmen aliansi secara formal pertamanya adalah ketika Turki menjadi anggota NATO tahun 1952 dan Pakta anti-Soviet Baghdad tahun 1954.
Setelah mendukung pendirian israel tahun 1948, pemimpin Amerika mencoba menempatkan diri dalam posisi seimbang di antara Israel dan negara-negara Arab dan dengan hati-hati menghindar dari membuat komitmen formal apapun terhadap negara Yahudi itu karena takut merusak kepentingan-kepentingan strategis yang lebih penting. Situasi ini perlahan berubah selama beberapa dekade berikutnya, sebagai tanggapan terhadap peristiwa Perang Enam Hari, penjualan senjata Soviet ke berbagai negara Arab, dan pengaruh kelompok-kelompok pro-Israel yang tumbuh di Amerika.
Sejak Perang Enam Hari tahun 1967, sebuah ciri yang paling menonjol dalam kebijakan Timur Tengah Amerika adalah hubungannya dengan Israel. Karena setidaknya selama empat dekade terakhir paska meletusnya Perang Dingin, Amerika telah memberikan dukungan kepada Israel baik material maupun diplomatik dengan porsi yang mengecilkan dukungannya kepada negara-negara lain. Bantuan itu sebagian besar diberikan tanpa syarat, tidak peduli apa pun yang diperbuat Israel, kadar dukungan secara umum tidak berubah. Secara khusus, Amerika lebih berpihak kepada Israel daripada kepada Palestina dan jarang membrikan tekanan kepada negara Yahudi itu untuk berhenti membangun pemukiman dan jalan-jalan Yahudi di Tepi Barat maupun Gaza. Meskipun Bill Clinton dan George W. Bush pernah secara terbuka mendukung pembentukan negara Palestina yang fungsional, tak seorang pun diantara keduanya memiliki inisiatif untuk menggunakan kekuasaan Amerika untuk menjadikan rencana itu menjadi kenyataan.
Amerika juga telah menjalankan kebijakan-kebijakan umum Timur Tengah yang mencerminkan keberpihakannya kepada Israel. Sejak awal tahun 1990-an, misalnya, kebijakan Amerika terhadap Iran telah sangat dipengaruhi oleh keinginan pemerinthan demi pemerintahan yang silih berganti di Israel. Teheran telah melakukan beberapa upaya dalam beberapa tahun terakhir untuk memperbaiki hubungan dengan Washington dan mulai menjembatani perbedaan-perbedaan menonjol diantara keduanya, tetapi Israel dan para pendukungnnya di Amerika telah berhasil menghambat upaya peredam permusuhan diantara keduanya, dan tetap membuat mereka saling berjauhan.
Sebuah contoh lain adalah sikap pemerintahan Bush selama perang Israel melawan Lebanon di pertengahan 2006. Hampir semua negara di dunia dengan keras mengecam operasi pemboman yang dilakukan Israel, padahal operasi ini telah menewaskan lebih dari seribu penduduk Lebanon dan sebagian besar adalah masyarakat sipil. Namun ditengah kecaman dunia yang datang kepada Israel, saat itu Amerika tidak melakukan tindakan maupun kecaman apa-apa terkait kebrutalan yang dilakukan bangsa Yahudi tersebut. Sebbbaliknya Amerika malah membantu upaya Israel untuk menuntaskan operasi Israel. Namun secara tidak disadari telah mengikis kekuatan pemerintah pro-Amerika di Beirut, memperkuat Hizbullah, dan membuat Iran, Suriah, serta Hizbullah makin akrab.
Banyak kebijakan yang dilaksanakan demi kepentingan Israel kini sangat merugikan keamanan nasional Amerika sendiri. Perpaduan antara dukungan Amerika yang tanpa batas kepada Israel serta pendudukan Israel yang berkepanjangan atas wilayah Palestina telah menyulut api anti-Amerika ke seluruh dunia Arab dan islam, dan ini meningkatkan ancaman dari gerakan-gerakan islam radikal sekaligus semakin menyulitka Washington dalam upaya-upayanya mengatasi masalah lain, semisal menghentikan program nuklir Iran. Karena Amerika kini makin begitu tidak populer di bagian banyak dunia lain, pemimpun Arab yang dulunya ingin menjalin kerjasama kini enggan mewujudkannya secara terbuka.
Terjemahan buku : John Mearsheimer & Stephen Walt .The Israel Lobby and U.S Foreign Policy. Hlm 8-12