Senin, 25 Juli 2011

Sang Terpilih (1)

Tulisan ini bukan hanya sebuah cerpen bersambung belaka. Tapi cerpen yang mudah-mudahan bisa menginspirasi  dan membuka mata kita semua tentang apa yang terjadi sebetulnya dalam percaturan politik di suatu negara bernama Indungsia. Dan bisa diimplementasikan di negeri kita tercinta, Indonesia yang kabarnya memiliki permasalahan yang sama, baik itu jalan cerita ataupun nama pejabat serta tokoh yang terlibat yang hampir sama.
Tokoh utama cerbung ini bernama Subagyo, yang dikenal sebagai Jenderal bintang empat, seorang lulusan Akademi Militer tahun 1973.
Suatu hari setelah pertemuan “komisi” di hotel mewah di Manhattan, New York, Jenderal Subagyo termenung ketika mendengar salah satu hasil keputusan pertemuan tersebut. George Soros, salah seorang senior di “komisi tinggi organisasi” tersebut merekomendasikan dan menjanjikan kursi kepemimpinan presiden Indungsia. Tentu saja karena Subagyo pernah dilantik sebagai anggota “organisasi” sejak 30 tahun lalu ketika menempuh pendidikan di institusi pelatihan militer terkenal di dunia, West Point, Virginia.
Jenderal Subagyo mengetahui bahwa semua anggota “komisi” tersebut termasuk George Soros bekerja untuk “organisasi” yang lebih tinggi dari mereka. Banyak desas-desus mengabarkan bahwa mereka yang dibelakang “organisasi” ini diantaranya keluarga bankir Yahudi yang tersebar di Eropa dan Amerika, yakni keluarga Rothschild. Karena berkat usaha yang dilandasi dengan prinsip tipu-menipu dan riba yang telah dijalankan semenjak era founding father mereka, kekayaan Rothschild menjadikan Bill Gates dan Warren Buffet bagikan seorang pengemis dibandingkan harta yang dimiliki dinasti Rothschild. Terbukti memang ketika awal karirnya, sebelum merintis usaha Microsoft nya, Gates pernah mengemis-ngemis kepada IBM, yanng merupakan cicit perusahaan anggota “organisasi”.
Namun tentu saja untuk teru menjaga rahasia yang lebih besar lagi, tampil lah Bill Gates dan Warren Buffet yang dinobatkan manusia terkaya di dunia oleh media-media yang tentu dikuasai oleh “organisasi”. Begitu juga Mukesh Ambani, milyuner asal India, kebanggan dinobatkan sebagai salah satu orang terkaya di planet ini versi mahalah Forbes membuat dia harus “unjuk gigi” dengan membangun rumah paling mahal di dunia setinggi 60 lantai senilai 1 milyar dollar di Mumbay (dulu Bombay). Padahal ironisnya, lebih dari setengah rakyat India tinggal di gubuk derita yang berada pemukiman-pemukiman kumuh dan padat penduduk serta di kolong-kolong jembatan.

Kembali ke Subagyo, tentu ketika dipersiapkan sebagai calon presiden Indungsia, dia harus menjalani “fit and proper test” sebagaimana pendahulunya juga harus mengikutinya sebelum menjadi presiden.
Adapun tesnya itu tidak terlalu sulit, hanya menjawab apakah bersedia melakukan “ini” dan “itu” setelah resmi dilantik menjadi presiden kelak. Namun tentunya “ini” dan “itu” disini menyangkut nasib seperempat miliar jiwa penduduk Indungsia. “ini” dan “itu” sebetulnya bisa membawa Indungsia menuju kesejahteraan, namun sayangnya, hal itu sama sekali tidak termasuk visi “organisasi”, dan akhirnya “ini” dan “itu” yang ditempuh adalah langkah yang semuanya hanya membawa kesengsaraan rakyat Indungsia.
Contoh jelas adalah kehendak “organisasi” untuk menghapus subsidi BBM di Indungsia. Hal ini bertujuan agar harga BBM di Indungsia bisa menyamai harga di tingkat internasional sehingga perusahaan-perusahaan asing yang tentunya dibawah kepemilikan anggota “organisasi” bisa semakin mengeruk keuntungannya di negeri tersebut. Padahal nyatanya di Indungsia tidak ada subsidi BBM yang dikeluarkan pemerintah untuk rakyatnya. Perusahaan asing tersebut mengambil gratis minyak bumi dari perut bumi, mengolahnya dengan asumsi biaya $10 per-barrel, kemudian menjualnya $50 per-barrel. Dengan total produksi 1 juta barrel perhari, perusahaan minyak dapat meraup keuntungan senilai $40 juta perhari, atau $14,5 miliar per tahun, bila dirupiahkan mencapai lebih dari 140 triliun. Dari hasil tersebut, negara hanya mendapat 10% nya sebagai pajak.
Tapi oleh “organisasi” keuntungan sebesar itu dirasakan masih kurang. Karenanya dengan alasan pemangkasan subsidi, harga minyak akan dinaikkan lagi. Padahal nyatanya tidak ada subsidi, subsidi disini hanyalah ilusi belaka. Harga minyak dibuat seolah-olah mencapai $70 per-barrel, otomatis dengan harga tersebut pemerintah harus menalangi $20 per-barrel yang dianggapnya sebagai subsidi, yaitu selisih harga minyak internasional dan minyak dalam negeri. Namun sesungguhnya pemerintah dan perusahaan minyak tetap menangkup keuntungan melimpah tidak peduli berapapun harga minyak di tingkat internasional. Rakyat pun adem-ayem saja menghadapi realita gila ini, tentunya berkat “mantra” media massa yang dihembuskan ke seantero negeri melalui mulut politisi, birokrat, pengamat politik dan wartawan senior. Karena subagyo tahu, mereka semua adalah yuniornya dalam “organisasi’
Mengingat “organisasi”, pikiran Subagyo kembali ke 30 tahun lalu saat dia menjadi peserta pendidikan militer di West Point. Dia memiliki IQ tinggi namun sering gamang dalam mengambil keputusan, bahkan terkesan plin-plan dan sempat digambarkan sebagai kerbau lemot beberapa waktu lalu oleh sejumlah media. Sehubungan dia merupakan taruna terbaik lulusan Akademi Militer dalam negeri , dia dan 9 taruna terbaik lainnya berhak mengikuti pendidikan militer lanjutan di West Point, sebagaimana program ini dilaksanakan rutin setiap tahunnya, karena kedekatan kerjasama militer Indungsia dan Amerika.
Singkat cerita, Subagyo yang saat itu masih berpangkat Letnan, menghadiri pesta yang diadakan keluarga teman kuliahnya dari Amerika yang merupakan anak senator terkenal pada masa itu. Sejak dia datang ke Amerika, sebetulnya dia sudah mengalami “culture shock” yang luar biasa. Maklum, dia hanyalah seorang anak desa dari kabupaten Capitan, meski orang tuanya, Raden Nurkoco adalah seorang kiai terpandang di desanya, namun di pesta ini dia mengalami shock culture yang jauh lebih hebat.
keterangan gambar : Calon Raja Inggris, Pangeran Harry dalam sebuah acara inisiasi (pelantikan) salah satu organisasi rahasia.
BERSAMBUNG….

Sang Terpilih series, courtesy :