Senin, 04 Juli 2011

Lobi Israel dan Calon Presiden Amerika Serikat 2008

Ketika Obama belum menggapai kursi presiden Amerika, ciri-ciri tertentu kampanye masing-masing calon yang digelar telah mudah diramalkan sebelumnya. Para calon presiden bersaing baik ketika masih di tingkat partai ataupun persaingan antar Republik dan Demokrat, mereka mau tidak mau tampil beda dalam setiap pokok permasalahan di dalam negeri, seperti pelayanan kesehatan, aborsi, perkawinan sejenis, pajak, pendidikan, imigrasi dan ekonomi tentunya. Lalu perdebatan diantara mereka pun sudah pasti akan terjadi seputar topik mengenai kebijakan luar negeri. Akan dibawa kemana kebijakan Amerika selanjutnya mengenai supremasi di Timur Tengah? Ambisi nuklir Iran, tentang sikap permusuhan Rusia terhadap NATO, dan kebangkitan Cina sebagai salah satu kekuatan baru? Kemudian bagaimana sikap Amerika terhadap global warming, perang terhadap terorisme dan kembali membersihkan kembali krisis citra masyarakat dunia terhadapnya? Masih banyak pula pokok permasalahan lainnya, dan kita pun yakin akan ada banyak perbedaan pendapat diantara calon yang ada.
Namun kita pun pasti yakin terhadap satu bahasan, kita sama-sama percaya bahwa para calon akan tampil satu suara. Layaknya pemilihan-pemilihan sebelum 2008, calon-calon yang serius maju akan memberikan perhatian yang cukup besar untuk mengungkapkan komitmen pribadi mereka yang amat mendalam kepada sebuah negara, dan kemudian tekad yang bulat untuk mempertahankan dukungan yang tak pernah ada habisnya, Israel. Tiap calon akan menekankan bahwa dia sangat memaklumi berbagai ancaman yang terpaksa dihadapi oleh negara Yahudi itu, karena dasar itulah, andai dia terpilih, Amerika akan tetap memegang komitmen yang tegas untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan Israel dalam situasi apapun. Tidak ada seorang calon pun yang cenderung mengkritik Israel dengan cara yang mencolok, mereka amat yakin siapapun yang melakukan itu akan gagal dalam pencalonan.
Rencana pencalonan Obama, Hillary Clinton, John McCain dan Mitt Romney mendapatkan kesempatan memberikan sambutan dalam Konferensi Herzliya di Israel, yakni konferensi tahunan yang membahas tentang masalah-masalah keamanan. Sebagaimana dilaporkan Joshua Mitnick di koran Jewish Week, “mereka tampaknya bersaing untuk mengetahui siapa yang paling berani dalam mempertahankan negara Yahudi.” Dalam siaran melalui satelit, John Edwards, calon wakil presiden partai Demokrat tahun 2004, berkata kepada pemirsa Israel bahwa “masa depan anda adalah masa depan kami”, lalu mengatakan bahwa ikatan Amerika-Israel “tidak akan pernah putus”.
Mantan gubernur Masschussets, Mitt Romney berbica tentang berada “di sebuah negara yang saya cintai bersama orang-orang yang saya cintai” lalu, sadar tentang kekhawatiran Israel tentang kemungkinan Iran menjadi negara nuklir, mengatakan bahwa “sudah waktunya dunia berbicara tentang tiga buah kebenaran : 1) Iran harus dihentikan. 2) Iran dapat dihentikan. 3) Iran akan dihentikan! Senator Arizona yang menjadi calon presiden dari partai Republik menyatakan, “ketika tiba pada masalah pertahanan Israel, kita jelas tidak bisa tawar-menawar,” sedangkan mantan ketua dewan perwakilan rakyat, Newt Gingrich (partai Republik negara bagian Georgia) berbicara kepada mereka yang hadir bahwa “Israel tengah menghadapi bahaya paling besar untuk eksistensinya sejak kemenangan perang tahun 1967.
Setelah itu, pada February 2007, Senator New York, Hillary Clinton dari partai Demokrat berpidato di depan gedung cabang lembaga lobi Israel yang sangat paling berpengaruh di Amerika yaitu American-Israel Public Affairs Committee (AIPAC). Dalam pidatonya dia berkata “masa paling sulit bagi israel sekaligus masa paling membahayakan bagi Israel…. Yang paling penting adalah agar kita tetap setia kepada teman dan sekutu dan tetap setia kepada nilai-nilai kita sendiri. Israel adalah sebuah acuan untuk apa yang benar di sebuah lingkungan yang sangat dibayang-bayangi dengan semua yang tidak benardalam wujud radikalisme, extremisme, despotisme dan terorisme.” Calon lainnya, senator Kansas dari partai Republik, Sam Brownick pun telah mengungkapkan sentimen pro-Israel dengan semangat yang sama tinggi atau bahkan lebih tinggi.
Tiba ketika Obama, senator Illinois, calon presiden dari partai Demokrat berkampanye juga di depan AIPAC. Sepertinya calon yang paling “munafik” memang pantas disematkan kepada Obama, karena sebelumnya pernah beberapa kali menyinggung sedikit keprihatinannya terhadap penderitaan bangsa Arab di Palestina, lalu ketika berpidato di gedung cabang AIPAC Chicago, di secara tegas memuji Israel dan menyatakan dengan sangat jelas bahwa dia tidak akan berbuat apapun untuk mengubah hubungan Amerika-Israel.
Terlihatlah kesamaan pandangan dan kesepakatan semua calon presiden Amerika saat itu terkait kebijakan Amerika terhadap Israel. Mengapa ketika dihadapkan pada permasalahan lain, mereka sudah pasti akan berbeda pendapat bila ditanya? Mengapa Israel bagaikan mendapat tiket gratis dan garansi perihal masa depan negara bangsa Yahudi tersebut?
Sebagian mungkin mengatakan bahwa Israel adalah aset strategis yang vital bagi Amerika Serikat. Memang, Israel disebut sebagai mitra yang mutlak dalam “perang melawan terorisme”. Yang lain menjawab bahwa ada kewajiban moral yang kuat untuk memberikan dukungan tanpa syarat kepada Israel, karena Israel negara satu-satunya di kawasan Timur tengah yang “menganut nilai-nilai yang sama dengan nilai kita”. Akan tetapi tidak satupun argumentasi ini pernah masuk akal siapapun pihak yang kontra terhadap eksistensi negara Yahudi itu.
Alih-alih memudahkan dan membantu, hubungan Amerika dan Israel justru semakin menyulitkan upaya-upaya menaklukan kelompok-kelompok yang mereka anggap teroris yang kini menjadikan Amerika sebagai sasaran, dan kemudian hubungan ini juga mengikis hubungan Amerika dengan sekutu-sekutu yang penting di seluruh dunia. Kini, sesudah Perang Dingin berakhir, Israel telah menjadi beban strategis (strategic liability) bagi Amerika Serikat. Namun tidak ada politisi yang berani mengungkapkannya di depan publik, atau sekedar mengangkat isu kemungkinan itu (bila) sedang mengincar jabatan tinggi di Amerika.
Pun jika kemudian moral yang dijadikan alasan untuk Amerika agar tetap mempererat hubungan dengan Israel, itu sungguh hal yang omong kosong. Mengingat perilaku brutal bangsa Yahudi terhadap bangsa Arab di Palestina. Harusnya pertimbangan moral itu menjadikan kebijakan Amerika agar lebih adli bagi kedua pihak, dan bahkan harusnya lebih condong ke arah Palestina. Namun hampir mustahil bagi kita mendengar sentimen demikian diungkapkan oleh siapapun yang ingin menjadi presiden, atau siapapu yang menginginkan jabatan Kongres.
Alaaasan utama mengapa politisi Amerika begitu sungkan dan ragu adalah kekuatan lobi politik israel. Lobi ini sebuah koalisi tidak mengikat diantara perorangan dan organisasi-organisasi yang secara aktif bekerja mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat ke sebuah arah yang tentunya pro-Israel dalam segala hal. Sebagaimana lobi tersebut bukan sebuah gerakan tunggal atau perserikatan dengan sebuah kepemimpinan terpusat yang “mengendalikan” kebijakan luar negeri Amerika. Lobi Israel hanyalah sebuah kelompok kepentingan yang perkasa, kuat yang terdiri dari baik orang-orang Yahudi maupun orang-orang non-Yahudi, yang secara terang-terangan bertujuan memenangkan kasus-kasus Israel dan mempengaruhi kepercayaan anggota-anggota nya agar tetap selalu mendukung bagaimanapun kebijakan luar negeri Amerika terhadap Israel.
Karena lobi Israel pelan-pelan menjadi salah satu kelompok kepentingan paling kuat di Amerika Serikat, para calon pejabat tinggi memberikan perhatian yang lebih dari biasa kepada keinginan-keinginannya. Individu dan kelompok-kelompok di Amerika yang membentuk lobi tersebut sangat peduli soal Israel, dan mereka tidak ingin politisi Amerika mengkritiknya, meskipun kritik tersebut pada dasarnya demi kepentingan Israel sendiri. Lebih dari itu, kelompok-kelompok ini ingin para pemimpin Amerika memperlakukan Israel seolah negara itu adalah negara bagian kelima puluh satu. Mereka semua tahu bahwa politisi manapun yang mencoba menentang kebijakan-kebijakannya memiliki peluang kecil untuk menjadi presiden.

Terjemahan buku : John Mearsheimer & Stephen Walt .The Israel Lobby and U.S Foreign Policy. Hlm 3-7