Selasa, 26 Juli 2011

Sang Terpilih (2)

Saat pesta mulai menginjak tengah malam, para tamu undangan baik pria dan wanita ramai-ramai meninggalkan ruangan pesta untuk beranjak pulang. Namun tiba-tiba munculah dua sosok wanita muda yang cantik nan seksi disertai balutan pakaian minim di depan Subagyo. Salah satu diantaranya membawa sebuah kunci mobil. Lalu kunci tersebut diserahkan kepada Subagyo, dia pun menyadari bahwa itu adalah kunci mobil sport Ferrari seri terbaru di masa itu.
Kontan Subagyo dilanda kebingungan tiada tara. Dalam kelinglungan itu sang senator pemilik rumah mengatakan bahwa mobil itu bolah dibawa kemanapun dan kapanpun oleh Subagyo, dan tentu saja termasuk kedua wanita seksi tersebut. Dilema melanda hati dan pikiran Subagyo, dia harus memilih antara membawa “buah-buah segar dan ranum” itu atau menolaknya begitu saja mengingat latar belakang dan kultur yang membesarkannya di lingkungan agama yang taat. Belum habis Subagyo memikirkan hal tersebut, teman kuliahnya, putra sang Senator menarik Subagyo keluar rumah menuju Ferrari dan kemudian mereka berempat meluncur membelah suasana malam kota New York.
Esok paginya, Subagyo mendapati dirinya berada di sebuah kamar hotel mewah, tentunya disamping tubuh molek salah seorang wanita cantik yang semalam menemaninya menyelami kehidupan malam New York yang sebelumnya tidak dia dapati di kampungnya, Capitan.

Nuraninya menyadari akan penyesalan yang dia rasakan perihal yang telah menimpanya semalaman. Sontak benaknya langsung tertuju ke tanah airnya, dimana Lastri, istrinya selalu setia menunggu kepulangannya. Apalagi mereka masih terhitung sebagai pengantin baru yang seharusnya menikmati masa-masa indah untuk dihabiskan bersama. Memang Lastri kenyataannya tidak secantik wanita yang kini tergolek disampingnya. Namun Subagyo memilih Lastri menjadi istrinya lebih karena kesetiaannya seperti halnya tipikal wanita di Indungsia pada umumnya. Disamping itu Lastri adalah seorang anak jenderal besar dan terkenal di seantero negeri yang turut berjasa membuat Subagyo sebagai taruna lulusan akademi militer terbaik. Hanya saja karena terlewat idealis, karir mertuanya tersebut berakhir tragis. Seolah jasanya di masa lalu tak berarti lagi, dia dipecat setelah berani menampar seorang pengusaha keturunan Cina yang kurang ajar datang ke istana hanya memakai celana pendek nan kotor dan beralaskan sedal jepit. Tidak terlalu aneh karena pengusaha keturunan Cina itu adalah besan sang Presiden Indungsia pada masanya.
“Aku tidak mau bernasib sama,” ujarnya setiap kali mengingat nasib mertuanya itu.
Atas latar belakang dan lingkungan yang sedari kecil mengharuskannya untuk bekerja keras untuk berjuang menjalani hidup, seiring karirnya yag terus menanjak, menjadikan tekad “tidak ingin hidup miskin” semakin mendarah daging dalam jiwa dan raganya. Itulah sebabnya dia tidak ingin terlalu lama menyesali perzinahannya dengan pelacur pembawa kunci mobil tersebut. Yang ada di pikirannya kemudian adalah besarnya peluang dia untuk menjadi pejabat tinggi negara setelah menyelesaikan pendidikannya di West Point, setidaknya itulah yang membuatnya sedikit tenang. Namun risau dan galau tidak bisa dihindarkan sepenuhnya. Dia hanya khawatir bila adegan perzinahannya itu ternyata direkam oleh dinas-dinas inteligen semisal dinas inteligen Amerika, CIA dan dinas inteligen Israel, Mossad, tentunya dalam rangka untuk memperalat dirinya di kemudian hari.
Kembali ke nama George Soros. Sesungguhnya Jenderal Subagyo membenci setengah mati pria Yahudi Ashkenazi ini. Soroslah yang menjadi biang keladim krisis moneter tahun 1997 yang melanda sebagian besar negara-negara di wilayah Asia Tenggara, khususnya Indungsia yang ekonominya luluh lantak karena pria tua bangka itu. Dan dari kehancuran negara-negara yang kolaps itu Soros mengeruk keuntungan yang sangat melimpah.
Yang menyebabkan krisis moneter tahun 1997 itu adalah tingkah Soros yang terkutuk. Dia memborong dollar di pasar uang Asia Timur dan Tenggara sampai dollar benar-benar mengalami kelangkaan hebat. Akibatnya nilai tukar terhadap dollar menjadi sangat tinggi, karena disamping kelangkaan, saat itu dollar sedang tinggi karena negara-negara di kawasan Asia Timur dan Tenggara membutuhkan mata uang itu untuk membayar hutang jangka menengah yang jatuh tempo pada tahun tersebut.
Tentu saja hutang yang dimiliki negara-negara tersebut tidak lepas dari peran seorang penulis Yahudi seperti Alvin Toffler. Pasalnya ada akhir dekade 1980-an dan awal 1990-an, melalui berbagai tulisan di jurnal-jurnal media massa baik cetak atau elektronik, dia memprovokasi negara-negara Asia Timur dan Tenggara untuk menggencarkan pembangunan besar-besaran karena sugesti “munculnya zaman keemasan Asia Timur” kala itu.
Namun sayangnya, karena keterbatasan cadangan aset dan devisa negara, negara-negara yang tertipu hasutan Toffler dan kawan-kawan tersebut demi menggenjot roda pembangunan dengan keterpaksaan mengandalkan dana pinjaman dan hutang luar negeri, terutama bankir-bankir Eropa dan Amerika (sudah tentu Yahudi cabang dari dinasti Rothschild bertopeng IMF).
Tibalah jatuh tempo di akhir 1990-an, ketika nyaris semua negara tersebut sangat membutuhkan dollar untuk membayar hutangnya, dollar-dollar itu sudah keburu diborong Soros. Parahnya dia bersedia menjual dollar-dollar itu dengan kurs baru yang nilainya melonjak berkali-kali lipat. Bisa dibayangkan berapa keuntungan yang dikeruk Soros dalam tindakan terkutuknya itu.
Namun tindakannya itu baru pemanasan dalam permainan selanjutnya. Ketika perekonomian negara-negara di Asia Tenggara, khususnya Indungsia hancur lebur tanpa bencana alam, peperangan ataupun wabah penyakit, dengan wajah tanpa dosa Soros datang kembali ke Indungsia menawarkan “jasa bantuan” yang sebenarnya adalah pemerasan. Dengan agak memaksa dan menggunakan kedok IMF tentunya, Soros menawarkan pinjaman kepada Indungsia untuk memperbaiki perekonomian negara dan sektor-sektor keuangan lainnya yang luluh lantak. Namun dengan syarat Indungsia harus menjual murah BUMN-BUMN dan aset-aset strategis lainnya kepada “investor” yang sudah pasti kaki tangan bankir Yahudi.
So, that’s the game. Begitulah hal yang selalu terulang sampai sekarang. Permainan Soros, Toffler dan kawan-kawan Yahudi mereka lainnya.
Namun bukan semata-mata karena itulah Jenderal Subagyo membenci Soros, melainkan sikap angkuh dan sombongnya yang membuat Subagyo ilfeel dan membenci Soros. Pernah suatu malam Subagyo menelpon Soros untuk menanyakan sesuatu hal yang tidak terlalu urgen. Dan keangkuhannya terlihat dari gaya bicara serta tingkah lakunya…
keterangan gambar : lukisan tentang sebuah upacara inisiasi atau pelantikan "organisasi"